wahai, sejenak kita terhenyak
mendekap debardebar di dada
luka
ayo, dentingkan lagi petikan gitas tuamu
sama kita lagukan irama qasidah cinta
perjalanan kita lah sampai
di tapal batas arasy menghitung puisi
tiada sangsi menyanyikan irama wangi melati
menapaki jalan sunyi
menggenggam pelita Nur Ilahi Robbi
Sungaiputri, 1993
PADA TIRAI YANG MELAMBAI
pada tirai yang melambai
terasa ada badai. lalu mayatmayat terkulai
pucatpasi. tiada suara
tawa atau canda. di sini semua fana semata
hanya seremoni belaka: doadoa sederhana
mengangkasa
pada tirai yang melambai
ada yang tergadai, seperti pantai landai
tempat riak dan ombak berontak
atau saling bantai, tak hentihenti mencumbui
karang, teripang, juga segala bayang
pada tirai yang melambai
kuuntai tragedi—demi—tragedi
yang tak kunjung usai
AKU SENANTIASA MENYERU
aku senantiasa menyeru tanpa jemu ketika sawahsawah
rekah dan bumi tengadah memeram wajahwajah
gelisah petani yang menggigil. aku
senantiasa tiada lelah memapah jiwa-jiwa resah
menuju lembahlembah yang dibanjiri darah. aku
terus melangkah mengucurkan darah ketika penyair
kehilangan katakata karena bahasa telah pecah
berdarahdarah
maka aku senantiasa menyeru jiwajiwa batu
agar selalu ingat keringat rakyat yang dengan
tangantangan penuh lumpur mengadukaduk nasib
mengolah masa depan yang suram
aku senantiasa menyeru kamu yang dengan kejam
memakan insaninsan malang
aku senantiasa menyeru kamu yang tanpa ragu
memangsa sesama yang begitu menderita
senantiasa menyeru kamu yang tanpaa perasaan
memakan masa depan demi memuaskan
nafsunafsu menggebu