Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menulis Itu Membebaskan

Kompas.com - 15/08/2011, 02:05 WIB

”Tanah Papua adalah tempatku dilahirkan. Tempatku dibesarkan, walaupun rambutku tidak keriting tapi aku merasa tanah Papua adalah kampung halamanku. Aku beruntung tinggal dan dibesarkan di sini, aku suka alamnya. Ada laut dengan ombaknya yang putih seperti busa. Ada gunung dan bukit yang masih hijau dengan pepohonannya yang rindang. Udaranya sejuk dan langitnya biru tidak tercemar asap polusi. Tidak seperti Jakarta yang pernah ku kunjungi, langitnya seperti penuh debu berwarna kelabu, aku tahu itu terkena polusi.…”

”Tanah Papua”, demikian tulisan itu diberi judul oleh Shafa Annisa Zen (10), penulisnya. Murid kelas V SD Al-Ihsan, Jayapura, tersebut dengan riang membaca tulisan itu hingga tuntas. Riuh tepuk tangan pun menggema.

Dalam cerita yang ditulisnya dengan tangan dan menggunakan pensil itu, Shafa juga bercerita tentang Tanah Papua yang kaya, ada emas, juga nikel. Ia yakin, ada lagi yang lain yang belum ditemukan. Di akhir tulisan, ia mengungkapkan harapannya, satu saat nanti generasi muda Papua dapat menemukan aneka kekayaan yang masih tersembunyi itu dan mampu menggunakannya demi kesejahteraan masyarakat Papua.

Tulisan itu merupakan salah satu tulisan yang mendapat penilaian terbaik oleh para pendamping Lokalatih Menulis yang diprakarsai oleh Yayasan Visi Anak Bangsa dengan dukungan PT Freeport Indonesia. Lokalatih yang bertujuan mendorong terciptanya penulis-penulis Papua Masa Depan itu digelar sejak 20 Juli lalu dan akan diakhiri pada 29 Juli nanti. Lokalatih itu diikuti oleh 10 sekolah di Papua, seperti Al-Ihsan, SD Inpres IV, dan SD Gembala Baik Abepura.

Dalam pembukaan lokalatih yang diselenggarakan bertepatan dengan Hari Anak Nasional, Sabtu (23/7), Ketua Yayasan Visi Anak Bangsa Debra Yatim mengungkapkan harapannya bahwa di Papua nanti akan lahir penulis-penulis unggul seperti Layla C Khudori yang mengawali latihan menulisnya pada usia empat tahun. Namun, menurut dia, juga baik untuk anak-anak mulai belajar mengungkapkan ekspresi, menuliskan gagasan-gagasan awal yang ada dalam batin-budi mereka.

Bermain, bercanda bersama, dan saling berbagi cerita adalah beberapa metode yang kemudian diterapkan para pendamping lokalatih itu untuk menggali ekspresi anak-anak. Tidak mengherankan jika di ruang lokalatih itu tidak ada satu pun meja atau kursi. Semua duduk melingkar, saling bertatap muka dengan rekan-rekan yang tentu baru ditemui dan dikenal dalam lokalatih itu. Menurut Debra Yatim, suasana memang dibuat demikian agar anak-anak tidak merasa bahwa menulis adalah beban.

Sebaliknya, ia berharap nantinya bagi anak-anak itu menulis adalah bagian dari pengalaman-pengalaman baru yang tidak hanya membuka wawasan, tetapi juga mampu mengekspresikan pengalaman perjumpaan mereka dengan dunia luar. Kepala Bidang Mutu Pendidikan Dinas Pendidikan Provinsi Papua Marthen Kuisi yang hadir dalam kesempatan itu tidak hanya menyambut baik kegiatan tersebut.

Menurut dia, lokalatih itu merupakan langkah penting bagi pengembangan anak-anak di Papua. Apalagi peran serta masyarakat untuk turut ambil bagian dalam usaha pendampingan terus-menerus masih sangat dibutuhkan, mengingat banyaknya kendala yang harus dihadapi pemerintah dalam pengembangan pendidikan di Papua, terutama di wilayah pedalaman. Tidak hanya guru, buku-buku pun sangat terbatas.

”Satu sekolah kadang hanya mendapat 10 set buku paket,” katanya. Keterbatasan itu pula yang menjadi salah satu kendala bagi para guru di pedalaman untuk memacu kreativitas dan inovasi siswa. Dalam konteks itu, ia melihat peran serta masyarakat sebagaimana dikembangkan oleh Yayasan Visi Anak Bangsa menjadi penting.

Hal itu mengingatkan kembali pada apa yang dilakukan oleh Pater Jhon Jonga di Arso, Kabupaten Keerom. Bersama dengan Cyprianus Jehan Paju Dale, mahasiswa pascasarjana pada sebuah universitas di Amsterdam, Belanda, Jhon Jonga mulai melatih menulis bagi anak-anak asli Papua yang tinggal di asrama di belakang rumah para pastor di Keerom.

Awalnya sulit karena anak-anak itu, meski telah lama mengenal Pater Jhon Jonga, cenderung tertutup. Namun, dengan pendampingan yang intensif, anak-anak itu ternyata mampu menghasilkan tulisan-tulisan luar biasa.

Lahir dari benak mereka, tulisan berisi kritik kepada para tua-tua adat yang begitu gampang melepas tanah ulayat yang seharusnya diwariskan kepada anak-cucu mereka. Lahir pula tulisan yang berisi keprihatinan atas relasi anak muda masa kini, juga kisah tentang kekerasan dalam rumah tangga. Tulisan-tulisan itu lalu mereka rangkai menjadi sebuah skenario drama tujuh babak yang kemudian beberapa kali mereka pentaskan, baik di sekolah maupun di paroki.

”Mereka menjadi sangat gembira. Tidak hanya karena sambutan yang baik dari orangtua atau teman-teman mereka, lebih dari itu, ternyata menulis juga membantu mereka menjadi bebas,” kata Pater Jhon Jonga.(B Josie Susilo Hardianto)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com