Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 26/02/2013, 21:25 WIB

KOMPAS.com - Sekar Kedaton adalah komunitas perempuan di Jakarta yang memelajari bahasa Jawa dan budaya Jawa sebagai bagian dari kebinekaan Indonesia. ”Kita punya kekayaan tradisi yang kaya,” kata mereka.

Sugeng rawuh sedaya kanca-kanca!” Begitu kalimat awal dari sambutan Ketua Sekar Kedaton, Nanuk Gastel, dalam bahasa Jawa yang artinya "selamat datang kawan-kawan semua".

Sekar Kedaton, Selasa (19/2/2013) siang, mengadakan pertemuan bulanan di rumah keluarga Ike Bakrie di kawasan elite Simprug, Jakarta Selatan. Acara pokoknya adalah mendengarkan ceramah budaya bertajuk ”Langgam Majapahit sebagai Leluhur Budaya Jawa” dengan penceramah Mitu M Prie, arkeolog dari Universitas Indonesia.

”Sekarang saya bicara bahasa Indonesia saja, ya,” kata Nanuk melanjutkan sambutannya. Ia ”terpaksa” menggunakan bahasa Indonesia karena tamu-tamu yang diundang Sekar Kedaton tidak semuanya mengerti bahasa Jawa kromo atau bahasa Jawa halus.

Busana yang disarankan (dress code) pada pertemuan itu adalah batik motif parang atau jawa timuran. ”Itu karena ada ceramah tentang langgam Majapahit,” kata anggota Sekar Kedaton, Enny Sukamto Hehuwat.

Anggota Sekar Kedaton yang hadir adalah Nanuk Gastel selaku ketua, Ike Bakrie sebagai tuan rumah, Nina Akbar Tandjung, Etty Djody, Astari, Enny Sukamto Hehuwat, Yani Arifin, Sri Redjeki Sulisto, Yuni B Adam, dan Anna Bambang yang dulu dikenal dengan nama Anna Mathovani, penyanyi kondang era 1960--1970. Anggota lain, yaitu Nike S Matondang, Rahmi Tahir, serta Titiek Soeharto pada siang itu tidak hadir.

Pada acara itu Sekar Kedaton mengundang 70 perempuan. Di antara mereka tampak Sukmawati Soekarnoputri, Ghea Sukarya, Dhani Dahlan, dan Putri Kuswisnu Wardhani.

Suasana riuh oleh celoteh tamu dalam bahasa Jawa, bahasa Indonesia, dan ada pula celetukan dalam bahasa Inggris. Saat makan tiba, misalnya, terdengar, ”You know, I am on a diet.” Asal tahu saja, menu makan siang acara itu adalah rawon dan kudapan mulai dari klepon sampai cenil. Ucapan itu menuai seloroh bisik-bisik, ”Bahasa Jawa, please!”

Ada ”polisi” bahasa
Sekar Kedaton yang beranggotakan 14 orang dibentuk pada Februari 2010 sebagai ajang pertemuan perempuan sambil mengadakan arisan. Dari sekadar kumpul-kumpul itu lalu tergagas keinginan untuk mendalami bahasa Jawa. Untuk memperdalam pengetahuan kebahasaan, mereka bahkan mendatangkan guru bahasa Jawa dalam pertemuan yang mereka gelar sekali sebulan.

Sebagai contoh, inilah undangan Sekar Kedaton lewat ponsel untuk pertemuan itu. ”Para mitra Sekar Kedaton, sareng puniko kulo suwun rawuh panjenengan sedaya, tumunten hanyengkuyung acara ceramah.... (Para rekan Sekar Kedaton, bersama ini kami minta kehadiran Anda semua untuk mendukung acara ceramah....)

”Percakapan di BB (Blackberry) pun kami menggunakan bahasa Jawa kromo inggil,” kata Nina Akbar Tandjung yang fasih menulis dan membaca aksara Jawa.

”Di grup kami ada ’wasit’-nya. Kalau kita salah bicara, langsung di-prittt.,” kata Nina melanjutkan.

”Wasit” atau resminya penasihat itu adalah Kanjeng Raden Mas Haryo (KRMH) Djatmiko Hamidjojo Santoso, kerabat Mangkunegaran, Solo, yang akrab disapa Mas Miko. ”Saya yang menjadi ’polisi’-nya. Kalau ada yang salah, saya pritt, he-he-he,” kata Mas Miko yang bertugas mengoreksi kesalahan penggunaan bahasa.

Menurut Miko, bahasa Jawa kromo inggil ibu-ibu Sekar Kedaton sudah lumayan. Namun, masih ada penggunaan kata-kata tertentu yang kurang pada tempatnya, terutama dalam percakapan kepada orang yang lebih tua atau dituakan.

”Misalnya, ada yang ngomong, ’Kulo saweg tindak (Saya sedang pergi). Kata tindak itu tidak tepat. Seharusnya, orang muda kepada orangtua menggunakan kata kesah (pergi),” kata Miko memberi contoh.

Untuk memperdalam pengetahuan tentang bahasa Jawa, Sekar Kedaton pernah mengundang Undung Wiyono, pengajar Sastra Jawa dari Universitas Indonesia, untuk berceramah tentang filosofi dan tata bahasa Jawa. Mereka juga mempelajari aksara Jawa. ”Kami tidak ngoyo harus lancar kok. Tapi yang penting mau menggunakan, mengerti, dan menyadari pentingnya budaya Jawa,” kata Nina.

Selain saling melancarkan bahasa Jawa kromo, Sekar Kedaton juga mengisi pertemuan mereka dengan pengetahuan budaya lain. Mereka antara lain pernah mengadakan bedah buku Serat Centhini dengan mengundang narasumber budayawan Soedarmadji Damais, mengunjungi museum di tengah kebun milik Syahrial Djalil, mengunjungi sentra batik Cirebon, serta ceramah batik oleh almarhum Iwan Tirta.

Kesadaran baru
Sekar Kedaton menjadi ajang bagi anggota dan komunitas lain untuk semakin mengenali jati diri mereka sebagai orang Indonesia. Astari dalam pertemuan itu sengaja mengenakan perhiasan berupa gelang dan cincin, yang menurut dia, merupakan perhiasan model Majapahit. Dia juga meminjamkan koleksi benda-benda Majapahit untuk acara itu, di antaranya perhiasan.

”Udah deh jangan beli perhiasan yang mahal-mahal dari luar negeri. Kita punya kekayaan tradisi yang luar biasa kaya,” kata Astari.

Anna Bambang mengamini pandangan Astari tersebut. Setelah melanglang buana ke banyak negeri, Anna merasakan Indonesia sebagai negeri kaya budaya. Ia semakin yakin akan kekayaan budaya negerinya setelah mendengar paparan arkeolog Mitu M Prie tentang kejayaan zaman Majapahit.

”Setelah jadi eyang-eyang saya baru mulai senang menggali budaya sendiri. Kemana aja selama ini he-he-he,” katanya pada diri sendiri. Inggih, Mbak.... (MYR/XAR)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com