Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Ketika Hasil Panen Sekadar Komoditi, Bukan untuk Konsumsi Demi Gizi

Kompas.com - 24/02/2018, 08:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Analogi yang sama di ranah kesehatan, saat hanya segelintir orang yang mampu menghargai makna upaya promotif dan preventif, sementara sebagian besar rakyat masih mengandalkan berobat semata di saat sakit. Barangkali, tidak banyak pula petinggi kita yang paham makna pangan sehat.

Dikiranya pangan sehat semata karena bebas pengawet dan pewarna serta lulus uji BPOM. “Sehat” pula untuk dikonsumsi setiap hari. Aduh.

Setiap kali saya ceramah, seminar, kuliah tamu tentang pangan sehat dan gerakan masyarakat hidup sehat sesuai Inpres no 1 tahun 2017 itu yang menganjurkan perbanyak makan sayur dan buah – selalu saya awali dengan pertanyaan sederhana,”Mengapa kita perlu makan sayur dan buah?”

Jawabannya klasik, kuno, persis seperti saya masih SMA 38 tahun yang lalu: karena mengandung serat, vitamin, mineral (masih untung ditambah antioksidan). Lah, seratnya buat apa? Buang air.

[Baca juga : Radikal atau Rasional: Ekstrim atau Lazim?]

Mendengar jawaban ini rasanya membuat saya ingin bunuh diri. Bahkan, tidak banyak dokter yang bisa menjelaskan bahwa serat yang mengikat gula dalam bahan makanan alami justru membuat gula lambat dicerna, dan tubuh tidak ‘syok’ dengan lonjakan gula berlebih.

Jika ini semua tidak dipahami, maka habislah fungsi asupan sayur dan buah. Tak heran bermunculan kedai jus, dan berbagai olahan sayur dan buah cara orang asing yang mulai menuai untung dan berujung buntung: percepatan terjadinya diabetes dan penyakit sindroma metabolik akibat kegilaan pangan olahan.

Kekonyolan yang sama terlihat saat sayur dibuat keripik, jamur digoreng garing bahkan dibuat bakwan.

Saat kita masih sumringah membangun ekonomi dan infrastruktur, tanpa menyadari bayangan risiko di balik pembangunan fisik, maka sebenarnya kita sedang membangun jurang kelam.

Desa terpencil yang mendadak menjadi terang benderang dan mobil berseliweran di jalan mulus, akan mengundang geliat ekonomi – saat pasar berubah menjadi mini market – dan pisang kukus diganti biskuit kemasan.

Ketika senja menjelang, bacaan sekolah dan pekerjaan rumah digeser tontonan televisi yang juga sama sekali tidak mendidik.

Lima belas iklan pangan industri dalam satu jam siaran televisi acara anak, menghipnotis mereka setiap hari.

[Baca juga : Yang Kritis Menjadi Skeptis Berakhir Tragis]

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com