Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Ketika Hasil Panen Sekadar Komoditi, Bukan untuk Konsumsi Demi Gizi

Kompas.com - 24/02/2018, 08:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Sementara itu, data kementerian kelautan dan perikanan menyebut, beberapa jenis ikan kita termasuk kerapu sudah kebablasan ditangkap dari jumlah semestinya. Yang aneh, anak-anak nelayan tetap saja menderita gangguan gizi bahkan stunting.

Panen raya, jumlah sayur tak terhitung, buah melimpah ruah – sangat tidak masuk akal ternyata 93.5 persen penduduk Indonesia terdata tidak cukup mengonsumsi sayur dan buah. Apa arti ini semua?

Kekayaan negeri dan bangsa ternyata hanya dianggap sebagai komoditi, kulakan penghasil rupiah, bukan bahan konsumsi untuk kebutuhan gizi. Kemakmuran secara fisik berbayang kemiskinan di sisi lain.

Beban kesehatan tidak lagi ganda, tapi sudah disebut tripel. Malnutrisi muncul akibat kekurangan kalori protein pada anak berbarengan dengan obesitas pada orangtuanya, dan di kedua generasi ini pun ditemukan kekurangan gizi mikro, akibat asupan pangan yang tidak seimbang, dan tidak sehat.

[Baca juga : Mengapa Orang Tidak (Bisa) Berubah?]

Alhasil untuk membenahi tubuh yang menderita, uang yang dihasilkan pun menyusut habis – termasuk Jaminan Kesehatan Nasional.

Mengejar kuantitas, tanpa melihat kualitas – ini yang membuat kita terlena seakan ‘kita ini baik-baik saja’.

Sekali pun data PISA di atas memberi fakta mengkhawatirkan, anehnya studi yang dilakukan oleh organisasi yang sama menunjukkan, indeks kesenangan belajar sains kita cukup tinggi! Lebih tinggi dari Singapura, yang menduduki singgasana teratas indeks PISA.

Saat pelajar Singapura stres belajar sains, rupanya anak-anak muda kita punya rasa ingin tahu yang menggebu. Sayangnya, apa yang merangsang rasa ingin tahu itu tidak diimbangi dengan pemahaman.

Tak heran banyak orang rajin membuat penafsiran sendiri-sendiri. Bahkan meluncurkan hoax ‘buatan sendiri’ saking kreatifnya.

Apabila petinggi kita ingin mengejar jumlah universitas dan membuka macam-macam program studi yang baru, tapi tidak berpijak pada kenyataan bahwa kualitas masih jauh tertinggal, saya semakin khawatir.

Bukan hanya “lulusan sarjana” frustrasi yang akan memenuhi angka pengangguran, tapi juga penyimpangan ilmu yang sebatas hanya dibaca kulitnya, tapi tidak pernah dikuliti hingga membentuk jati diri.

Sehingga sayur hijau yang terbaik malah dijual, karena dianggap penyebab asam urat. Juga melimpahnya panen ikan, hanya untuk menyehatkan orang-orang asing, karena dijual ke negeri asing – sementara para ibu masih berpikir, bahwa anak diberi ikan rentan jadi cacingan.

[Baca juga : Pendapat Ahli Berdasarkan Besarnya Pendapatan]

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com