Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pola Asuh: Keterampilan, Komitmen, dan Jadi “Kulino”

Kompas.com - 20/05/2019, 08:05 WIB
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi


 
Praktiknya, mereka bilang si ayah susah disuruh berhenti merokok dan anaknya tidak mau makan kalau bukan menunya ayam goreng.
 
Pun si remaja marah jika tidak diberi uang jajan untuk beli berbagai minuman kekinian, yang promosinya nyelonong masuk aplikasi ponsel tanpa permisi.
 
Bahkan di pelosok, saat relawan berpeluh-peluh bicara perlunya makan sayur dan buah tiga kali sehari, tukang es keliling dengan merek ternama berisik dengan klaksonnya yang membuyarkan konsentrasi.
 
Kembali merujuk pada pemikiran filsuf, Paulo Freire (1921) yang lebih tua sedikit dari Habermas adalah seorang pendidik juga yang lahir di Brasil – bekerja untuk orang-orang buta huruf di negrinya, ia dikenal dengan Teologi Pembebasan.
 
Saat itu hanya penduduk yang melek huruf yang bisa ikut pemilu. Ia menyebut ‘situasi penindasan’ dimana mayoritas adalah kelompok tertindas, sedangkan minoritas sebagai penindas.
 
Golongan tertindas dibuat tidak berdaya karena ketidaktahuan, dibiarkan menjadi objek, bukan subjek.

Baca juga: “Germas” Masih Tahap Marketing: Menanti Disrupsi Terjadi
 
Yang anehnya, bagi publik yang sungguh-sungguh tidak berdaya malah ‘menikmati’ ketidakberdayaannya, bahkan menjadikan hal tersebut sebagai ketergantungan.
 
Di zaman sekarang: mulai dari tergantung dengan obat hingga bumbu masak instant atau lebih parah lagi, makanan bayi kemasan.
 
Menjadi ironis jika pencerahan dan pembebasan tidak selamanya diterima dengan lapang dada. Malah dianggap merepotkan dan sebagian orang justru merasa hilang kebebasan ‘untuk makan semaunya’.
 
Ibu-ibu sudah merasa pede dengan susu formula dan makanan kemasan untuk bayinya, karena dengan demikian mereka bisa bebas bekerja dan tanpa perlu repot memerah ASI juga.
 
Akhirnya, orang-orang yang sudah terlanjur melihat hidup sebatas permukaan (apabila tidak mau dibilang cetek) akan sesak nafas jika disuruh menyelam lebih dalam lagi.
 
Kondisi sakit, kabar baiknya mampu membuat manusia berserah diri. Bahkan, bisa menjadi titik balik perjalanan humanisasi dari kondisi dehumanisasi.

Orang-orang yang lebih teredukasi dan melek literasi akhirnya bisa memahami jurnal kesehatannya sebagai pembelajaran. Bahkan pembelajaran berkelanjutan sebagai pola asuh diri, yang nilai komitmennya sudah menjadi ‘kulino’ – sesuatu yang dilakukan berulang-ulang dan terinternalisasi.

Baca juga: Resep Kebahagiaan: Jiwa dan Raga di Usia yang Sama
 
Nilai kepakaran, mastery, tidak mungkin datang hanya dari intelegensia – yang hanya mengandalkan kemampuan otak berpikir dan mengingat serta mencari ‘breakthrough’ alias terobosan yang out of the box.
 
Ujung-ujungnya, geger sesaat – lalu padam. Pakar mengelola pola makan hingga gaya hidup datangnya dari perjalanan kematangan dan kedewasaan dan mampu ‘menyelam lebih dalam’.
 
Sebagai analogi komitmen membuat jurnal, saya kerap membagikan pengalaman soal mencatat pengeluaran.
 
Tiga puluh tahun saya punya karier dan bekerja. Saya terbiasa mencatat semua uang masuk dan keluar dengan amat detil. Secara manual.
 
Sepuluh tahun pertama, catatan itu berbicara soal neraca apakah saya boros atau hemat. Sepuluh tahun kedua, catatan yang sama dianalisa dengan aspek yang berbeda: pengeluaran saya lebih banyak untuk konsumsi, rekreasi, atau bayar kredit?
 
Sepuluh tahun ketiga, sekali lagi catatan yang terus dibuat itu memberi narasi tentang hal yang lain lagi: apa yang sudah saya siapkan untuk pensiun? Seberapa jauh lagi jarak saya menjadi seorang filantropis?
 
Semoga generasi yang sedang muncul di masa sekarang ini, yang sudah terlanjur dikenal sebagai generasi ‘serba cepat yang penting hebat’ – mau sedikit melihat kedalaman hidup yang dimulai dari cara mengasuh diri dahulu.
 
Mengasah keterampilan yang penjalanannya cukup panjang untuk jadi ‘kulino’, dengan kesabaran – yang dijamin berbuah kepakaran.

Baca juga: Ketika Manusia Tak Bisa Melihat Versi Terbaik dari Dirinya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com