Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Mimpi Sehat Gaya Teknokrat dan Birokrat, Mungkinkah?

Kompas.com - 06/09/2019, 20:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Dari penelitian Helen Keller International di Kota Bandung pada tahun 2018, 50% bayi yang tadinya dibesarkan dengan ASI akhirnya jatuh ke jeratan susu formula.

Begitu pula 50% balita sudah terpapar dengan minuman manis termasuk soda dan 85% balita diberi jajanan tinggi gula garam dan lemak produksi pabrik.

Angka-angka ini tidak akan beda jauh jika kita lakukan surveinya di pelosok tanah air. Sebab di Lombok Timur saja, ditemukan bayi-bayi di bawah usia 6 bulan sudah diberi ibunya makanan praktis bernama bubuk kemasan rasa ‘kacang hijau’ dengan gula 4 gram per bungkus untuk 1 kali penyajian.

Istilah praktis, ekonomis, higienis menjadi jargon ampuh para industrialis yang meninabobokan ibu-ibu milenial minus ajaran pola asuh.

Ketika teknokrat dan birokrat berembuk membahas carut marutnya urusan gizi dan penyakit, tersusunlah modul-modul teoritis dan strategi kampanye dan sosialisasi di sana sini. Sama sekali tidak salah.

Baca juga: Kemopreventif, Kemoterapi, Kemopaliatif: Mana yang Tepat?

Tapi, berikutnya apa? Sebab begitu publik sudah ‘ngeh’, saat masyarakat sudah sadar, bukan berarti mereka akan langsung angkat jinjingan belanja sayur dan buah.

Yang menarik justru pemangku kebijakan kalah cepat dengan pelaku bisnis oportunistik. Memanfaatkan momen sekaligus menimang kecanduan, sayur dan buah dikemas menjadi jus praktis yang membuat makan sayur dan buah semakin jauh dari tujuan kesehatan sesungguhnya.

Begitu pula ketika teknokrat dan birokrat kelabakan menutup kerugian BPJS, fokus ekonomi akhirnya tinggal mengandalkan strategi iuran bulanan.

Menyelesaikan masalah? Tidak. Akan ada jurang yang lebih dalam lagi. Bagi yang sanggup bayar, tentu akan menuntut fasilitas berobat lebih layak. Sakit sedikit, yang penting obatnya banyak. Tidak mau rugilah.

Baca juga: Apa Benar Kanker Tidak Diketahui Penyebabnya?

Bagi yang tidak sanggup bayar, lari ke dukun – yang lebih ‘community friendly’ – memahami kesulitan rakyat kecil, bahkan ramuannya ‘lebih alami’.

Jika sembuh dianggap jamunya ampuh, jika meninggal pun diikhlaskan sebagai suratan nasib.

Mendidik masyarakat di era asuransi kesehatan, tidak cukup hanya dengan memberi fasilitas berobat.

Sekaya apa pun jaminan sosial suatu negara, akan bangkrut total jika ‘paket kembar strategi kesehatan nasional’ tidak dijalankan: upaya kuratif sekaligus upaya preventif.

Indonesia jelas-jelas mempunyai ketimpangan di antara kedua upaya itu. Preventif jangan diasumsikan semata-mata soal mencegah orang jadi sakit.

Baca juga: Kasihan, Orang Sakit Bebannya Selangit

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com