Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/06/2020, 20:33 WIB
Gading Perkasa,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

Namun, profesional medis lain masih ingin melihat lebih banyak penelitian untuk menentukan manfaat jangka pendek dan panjang diet intermiten, serta potensi efek samping yang merugikan.

Carl E. Orringer, direktur Preventive Cardiovascular Medicine di University of Miami Miller School of Medicine, saat ini tidak merekomendasikan diet intermiten kepada pasiennya yang menderita penyakit jantung.

Orringer tidak menyangkal temuan dalam artikel New England Journal of Medicine, namun ia memiliki tiga kekhawatiran tentang penerapan diet tersebut. Yaitu:

1. Diet intermiten sulit untuk ditaati, mengingat lamanya waktu makan sudah terbentuk secara budaya.

2. Diet intermiten dapat menyebabkan kelaparan jangka pendek, lekas marah, dan sulit berkonsentrasi.

3. Sebagian besar dokter tidak dilatih untuk meresepkan diet tersebut.

"Saya ragu berapa jumlah pasien yang akan mendapat akses ke konseling dan tindak lanjut yang diperlukan untuk memaksimalkan manfaat yang disarankan dari diet intermiten," kata Orringer.

Mattson mengakui, mereka yang baru menerapkan diet intermiten pada awalnya cenderung lapar dan mudah tersinggung usai waktu terakhir mereka makan.

"Namun, dalam dua hingga empat minggu sistem neuroendokrin pengatur energi dan sirkuit pengatur rasa lapar di otak mereka akan beradaptasi, dan mereka tidak akan lagi lapar selama periode diet," ujar Mattson.

Mattson menyebut, semua itu masalah waktu. Saat kita makan, hormon leptin dilepaskan ke aliran darah kita.

"Leptin bekerja pada hipotalamus, dan mengirimkan sinyal ke pusat otak yang lebih tinggi, memberi kita perasaan 'saya kenyang'," tuturnya.

"Di sisi lain, ketika kita belum makan apa pun dalam waktu lama, hormon yang disebut ghrelin dilepaskan sebagai gantinya. Ghrelin bertindak pada hipotalamus untuk memicu perasaan 'saya lapar'."

Meskipun kedengarannya berlawanan, tidak makan dalam waktu lama sebenarnya mengurangi tingkat ghrelin yang memicu niat untuk segera makan.

Baca juga: Ini Cara Lain untuk Mendapatkan Manfaat Diet Intermiten Tanpa Puasa

Agatston memberitahu Petrow untuk memulai diet dengan melewatkan satu kali makan sehari, biasanya sarapan.

Saat makan siang, Agatston menyarankan Petrow untuk makan lebih awal, dan makan malam tidak lebih dari delapan jam kemudian.

Ia mengingatkan pentingnya terhidrasi dengan banyak air, garam, dan suplementasi magnesium.

"Menyesuaikan tekanan darah dan pengobatan diabetes juga penting," kata Agatston.

Kita perlu berkonsultasi dengan dokter sebelum memulai diet intermiten, karena tidak semua orang cocok menjalani diet tersebut.

Dan, ada satu alasan lagi untuk mempertimbangkan diet intermiten, yaitu Covid-19.

Mark Hyman, dokter keluarga serta kepala strategi dan inovasi di Cleveland Clinic's Center for Functional Medicine, mengatakan hampir 90 persen orang di Amerika tidak sehat secara metabolik.

Kondisi itu, menurut Hyman, adalah saat kita memiliki tekanan darah tinggi, gula darah tinggi atau kolesterol tinggi, atau kombinasi dari semuanya.

"Diet intermiten dapat memberi kesehatan metabolisme yang buruk dan berakibat pada peningkatan berat badan, tekanan darah, kolesterol, gula darah dan peradangan, membuat penyakit kronis lebih parah."

Petrow tetap bertahan karena dua alasan. Alasan pertama, karena ia telah dibentuk selama bertahun-tahun dengan pemahaman bahwa sarapan adalah makanan terpenting.

Ia ingin menjaga jantung dan berat badan, namun ia juga tidak berpikir merasa lapar.

Namun, Petrow mengingat apa yang dikatakan Orringer kepadanya.

"Tidak ada solusi yang bekerja untuk semua orang. Saya ingin melihat lebih banyak data berkualitas, sebelum saya bisa menyetujui diet intermiten," kata Orringer.

Baca juga: Mengenal Lazy Keto, Diet Keto yang Lebih Fleksibel

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com