Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Pembiaran Norma Anyar yang Makin Ambyar

Kompas.com - 26/06/2020, 20:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Keluguan cara berpikir, pembiaran berpuluh-puluh tahun yang tidak pernah tersentuh edukasi kesehatan dengan cara komunikasi yang benar, membuat bangsa ini gagap tanggap.

Dipaksa ‘nurut’ dengan norma-norma ‘anyar’ yang begitu jauh dari kebiasaan sehari-hari dan kebudayaan mengguyub membuat protokol tinggal seperti pajangan aturan.

Apalagi sanksinya model hukuman anak sekolah dasar yang sangat tidak masuk akal: mulai dari push up hingga hafalan Pancasila. Minim literasi, minim tanggung jawab moral membuat pandemi sulit ditangani.

Namun demikian, budaya berkerumun dan identitas kelompok di Indonesia ini cukup unik.

Yang mestinya muncul tanggung jawab rasa bersalah terhadap kelompok, justru mereka yang mencelakakan kaumnya seakan tak punya rasa salah sama sekali.

Bahkan, mulai menuding kontributor lain sebagai penyebab masalah. Lebih parah lagi, dengan mudahnya terbawa hasutan bahwa isu covid 19 hanyalah konspirasi.

Baca juga: Bagaimana Kita Pasca Pandemi, Tergantung Kita Hari Ini

Di sisi lain, petinggi yang mestinya melihat pandemi sebagai penularan penyakit dan harus ditangani secara spesifik intervensi medik dan edukasi publik, malah kesasar lebih berat sebelah ke dampak psikologis ekonomis.

Bahkan, Indonesia satu-satunya negara yang mengibarkan bendera turisme di awal pandemi sementara negara lain sudah menutup diri rapat-rapat melindungi rakyatnya.

Kedodoran dan keteteran penanganan membuat masalah kian kronis. Termasuk keterpurukan ekonomi pada akhirnya.

Suntikan stimulus yang diharapkan bisa mendongkrak ritme finansial ternyata terpakai sebatas kebutuhan sehari-hari, bahkan rentan penyalahgunaan dan dugaan ‘begal’ bantuan tunai langsung dimana-mana.

Di sisi lain, generasi Z yang sudah masuk usia duapuluh-an, mulai gerah karena hidupnya kehilangan arah.

Dari yang kuliah kedokteran hingga pariwisata pun akhirnya meramaikan dunia instagram dengan aneka jualan.

Dari aneka cake, keripik kentang hingga cumi sambal ijo. Siapa sih yang tak butuh makanan? Murah meriah, sebagai pemula bolehlah coba-coba.

Hal yang barangkali juga jika diamati dari semua negara di dunia, Indonesia minim pengawasan, sementara situasi kebablasan akibat pembiaran sangat mungkin terjadi.

Persis seperti semua kejadian kebablasan di segala bidang di negri ini – yang awalnya dimulai dari rasa empati, gotong royong, dan kesetiakawanan.

Mirip seperti rasa kasihan dengan para pendatang yang satu per satu membangun hunian non permanen sepanjang bantaran kali – hingga akhirnya punya RT RW – dan suatu hari terjadi malapetaka besar: banjir bandang.

Kemudian relokasi dianggap penggusuran anti kemanusiaan terhadap rakyat kecil.

Baca juga: New Normal, Bagaimana Mencegah Penularan Virus Corona di Tempat Kerja?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com