Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Indonesia Krisis Konselor Laktasi dan Literasi Gizi

Kompas.com - 29/05/2023, 12:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Di usia 6-8 bulan setelah anak belajar makan, ASI tetap dibutuhkan sebagai kontributor antibodi, probiotik dan enzim, serta 70% kecukupan kalori. Yang berangsur kebutuhannya akan menurun dengan meningkatnya asupan pangan berkualitas dan cukup.

Baca juga: Saatnya Benahi, Sehat Sesuai Studi Berbasis Bukti atau Jurus Testimoni?

Keempat. Kesiapan menjadi orangtua menjadi masalah besar munculnya generasi rentan gizi buruk. Sebelum menikah, kursus persiapan calon pengantin jauh dari kata cukup.

Seandainya pun ada materi tentang gizi keluarga, isinya klasik membosankan. Tak ada bahasan soal persiapan menyusui, apalagi menghadapi anak susah makan alias periode ‘gerakan tutup mulut’ yang sebabnya bisa banyak faktor.

Termasuk pola asuh yang salah, ketidaksatuan visi antara orangtua dan nenek yang ikut mengasuh, hingga cara menimba ilmu sebagai orangtua baru apabila masalah muncul.

‘Juru selamat’ mencari jawaban akhirnya berujung pada media sosial. Yang menawarkan berbagai kemudahan dan keajaiban.

Baca juga: Dari Stunting ke Teh Manis, Apakah Edukasi Kita Miskin Literasi?

Aneka resep ajaib yang dikenal sebagai ‘bb booster’ untuk mengatasi berat badan seret, aneka suplemen hingga metode-metode yang hanya bisa diakses melalui internet dan belum diakui kebenarannya.

Kelima. Aneka produk kemasan beserta iklan semakin menggila tak terkendali di negri ini. Zaman saya punya bayi, belum ada yang namanya ‘kerupuk bayi’ hingga ‘mi khusus bayi’.

Sedangkan sekarang, bayi diperlakukan seperti dewasa mini. Seakan-akan apa yang orangtuanya makan (yang belum tentu sehat), perlu diproduksi versi bayinya. Ditambah iming-iming berbahan organik, tanpa pengawet.

Mempunyai satu anak bayi bisa membuat ekonomi keluarga bangkrut dan dari kecil anak dididik untuk mempunya referensi dan preferensi pangan yang kacau.

Nakes-nakes muda alih-alih meluruskan kekisruhan ini, malah dengan senang hati menjadi penganjur alias ‘endorser’ aneka produk yang dipercaya awam bagus, karena dipromosikan nakes.

Baca juga: Pangan Keluarga, Cermin Kedaulatan Pangan Negara

Flores adalah pulau indah yang menjadi bagian impian saya semasa duduk di sekolah menengah tahun 80-an.

Saat itu, saya menjadi penulis kisah seri Lea dan Leo majalah anak ‘Kunang-kunang’ selama 5 tahun lebih. Ketika saya menjejakkan kaki pertama kali di Labuan Bajo, kabupaten Manggarai barat, bayangan Flores berubah menjadi Bali generasi baru.

Semua tempat makan yang saya kunjungi menyajikan menu pulau Jawa bahkan sajian kebarat-baratan.

Roti kompyang (bahasa aslinya guang-biang) yang katanya oleh-oleh tradisional pun sebetulnya inkulturasi budaya Tionghoa. Padahal, gandum tak tumbuh di bumi Nusantara.

Tapi saya masih menaruh banyak harapan pada kepala desa dan kepala puskesmas, yang begitu semangat ingin memajukan wilayahnya dan menuntaskan masalah stunting.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com