Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Ikko Anata
KOMPAS.com - Berada di zaman yang penuh dinamika dengan tingginya penggunaan teknologi turut memengaruhi kesehatan mental kita. Di sisi lain, kepedulian warganet Indonesia terhadap kesehatan mental semakin tinggi.
Ada kalanya kita merasa dekat dengan diri sendiri, namun terkadang pula kita merasa tidak baik-baik saja. Itulah mengapa ada beberapa gejala yang cukup mengganggu mental dan kerap dialami oleh kita. Apa saja?
Penggunaan media sosial yang masif membuat kita sulit menjadi diri sendiri. Banyak influencer atau artis yang membuat kita ingin terlihat seperti mereka. Akhirnya, kita pun kehilangan ciri khas diri.
Selain itu, fenomena FOMO atau fear of missing out membuat kita merasa terkucilkan jika tak mengikuti tren yang sedang ramai dibicarakan. Padahal, belum tentu kita nyaman melakukan itu. Namun, demi mendapat pengakuan, kita pun berusaha memenuhinya.
Baca juga: Bukan Egois, Ini Pentingnya Utamakan Diri Sendiri
Setiap harinya, kita dihadapkan dengan perasaan stres karena selalu memenuhi tuntutan orang lain dan arus. Kita hanya memandang orang lain dan berharap bisa menjadi seperti mereka.
Padahal, dalam siniar Anyaman Jiwa bersama Teman Bincang episode “Tanda Kamu Berhasil Jadi Dirimu Sendiri” dengan tautan bit.ly/AnyJiwDirimu, dijelaskan kita tak bisa menjadi orang lain. Setiap orang memiliki keunikan masing-masing tanpa perlu mengorbankan diri mengikuti orang lain.
Apabila berhasil menjadi diri sendiri, kita akan melakukan sesuatu bukan untuk mengesankan orang lain. Misalnya, kita melakukan diet agar tubuh menjadi lebih sehat dan bukan untuk mendapat pujian dari orang lain.
Di zaman ini, kita sering menemui fenomena orang yang enggan membantu orang lain yang sedang kesulitan. Bahkan, hal itu menjadi perbincangan kalau anak-anak di zaman ini kurang memiliki empati.
Ternyata, jika kondisi ini terus terjadi, bisa menunjukkan tumpulnya emosi seseorang.
Dalam siniar Anyaman Jiwa episode “Mati Rasa Secara Emosional” dengan tautan bit.ly/AnyJiwEmosional, mati rasa emosional digambarkan dengan perasaan hampa atau terasing saat berada dalam kondisi tertentu, seperti bahagia atau sedih. Bisa saja kondisi ini bersifat permanen atau sementara.
Melansir Psych Central, orang yang mengalami kondisi ini biasanya merupakan respons perlindungan diri terhadap trauma, stres, rasa sakit, atau ketidaknyamanan yang mungkin dialami. Alih-alih merasakan emosi intens, penderitanya justru lebih memilih mengalihkan emosinya.
Ada beberapa penyebab seseorang mengalami mati rasa secara emosional ini. Salah satunya, adanya pengalaman traumatis, misalnya pernah mengalami pelecehan atau kekerasan. Orang yang pernah mendapatkan perlakuan seperti itu akan memilih untuk menutup dirinya.
Mematikan perasaan emosional digunakan untuk menutupi rasa sakit emosional yang terus menghantui, terlebih saat mereka mengingat kembali kejadian tersebut.
Hidup dengan trauma juga menyebabkan beberapa orang mengalami disosiasi, yang terkadang terlihat mirip dengan mati rasa secara emosional, namun tidak sama. Disosiasi terkait trauma mengacu pada perasaan terpisah atau terlepas dari diri sendiri, pikiran, dan emosi.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.