Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/04/2024, 07:07 WIB
Wisnubrata

Editor

Semua konten ini memiliki pengaruh “besar” terhadap keputusan apakah orang akan membeli sebuah parfum atau tidak.

Meskipun Internet memainkan peran penting dalam memicu minat terhadap suatu merek atau parfum, konsumen tidak dapat mencium aroma melalui layar (setidaknya sampai saat ini). 

Jadi apa yang dimulai sebagai perjalanan online ini akan berubah menjadi pencarian offline. Empat puluh lima persen responden mengandalkan informasi dari mulut ke mulut untuk menemukan wewangian baru dan, meskipun e-commerce sedang berkembang, 40 persen masih memilih untuk mencoba dan membeli wewangian baru langsung di butik. 

Secara umum, menguji wewangian sebelum membeli adalah suatu keharusan bagi hampir 80 persen responden — hanya 15 persen pemula dan 30 persen ahli yang bersedia melakukan “blind-buy” parfum.

Memang kita semua menghargai luasnya informasi mengenai merek dan parfum yang tersedia secara online, namun gambaran virtual tersebut hanya berguna sampai titik tertentu.

“Kita bisa mencari info di Fragrantica, tapi terkadang lebih pas jika ada seseorang yang memberi rekomendasi untuk mencoba wewangian tertentu,” kata Jackson. 

Wewangian bersifat pribadi, membangkitkan emosi dan ingatan yang berbeda-beda tergantung siapa yang menciumnya, dan mengandalkan konten online yang tidak bisa dicium tentu kurang efektif jika dibandingkan dengan pencarian langsung. 

Baca juga: Apa Itu Parfum Niche dan Mengapa Makin Populer?

Apa yang jadi alasan orang membeli suatu parfum

Taylor, yang rela menghabiskan jutaan rupiah untuk membeli wewangian, mengapresiasi botol parfum yang terlihat bagus. “Ini adalah sebuah benda seni sekaligus sesuatu yang membuat kita wangi,” katanya. 

Hampir separuh responden setuju bahwa kemasan dapat menentukan keputusan pembelian. Botol parfum yang dirancang dengan baik akan memberi nilai lebih terhadap isi di dalamnya.

Tujuh puluh satu persen responden bersedia menghabiskan lebih dari Rp 1,5 juta untuk sebotol wewangian — dan yang lebih mengesankan, sepertiga penyuka parfum bersedia mengeluarkan hingga Rp 8 juta untuk wewangian yang tepat. Namun mereka tidak akan membeli asal-asalan.

Saat memutuskan pembelian, 87 persen responden mempertimbangkan aroma dan bahan-bahan parfum sebagai faktor penentu.

Tentu saja, selera penciuman setiap orang berbeda-beda, namun 80 persen responden menghargai ketahanan suatu aroma, sehingga mereka lebih memilih aroma dasar yang tahan lama seperti vanilla, amber, rempah-rempah, dan kayu.

Dalam wawancara, sebagian besar responden setuju bahwa pemasaran wewangian sudah ketinggalan zaman. “Industri ini masih terjebak dalam era gadis sexy-menunggang kuda, lalu ada pria kuat datang, setengah telanjang dan basah habis keluar dari air,” kata Taylor. 

“Jujur saja, ini tidak cocok,” Jackson menambahkan. “Merek mengiklankan wewangian dengan cara yang membuatnya tampak seolah 'dengan memakai ini, kamu langsung mendapatkan daya tarik seks.' Itu persepsi yang sudah ketinggalan zaman tentang fungsi wewangian.”

Visual hiperseksual yang sering menyertai iklan parfum juga mencerminkan gender heteronormatif dalam wewangian: Wewangian yang berat dan woody sering kali dipasarkan sebagai “maskulin”, sedangkan wewangian bunga dan buah-buahan disebut-sebut sebagai “feminin”, suatu kecenderungan yang terasa ketinggalan jaman. 

Saat ini, enam puluh satu persen responden mengabaikan kategorisasi gender suatu wewangian, di mana 24 persen pemula dan hanya 8 persen pakar memilih untuk berbelanja wewangian yang dirancang khusus untuk gender mereka. 

Hubungan brand dengan selebriti juga dibahas dalam penelitian ini. Hanya 2 persen yang tertarik pada merek parfum milik selebriti, dan 1 persen mempertimbangkan dukungan selebriti saat berbelanja wewangian.

“Rasanya sangat tidak autentik… Tapi saya menghargai pemasaran ini,” kata Taylor tentang parfum yang menampilkan selebriti. 

Belotti-Sonnois, yang biasa menghabiskan hingga Rp 3 juta lebih untuk membeli parfum yang tepat, juga kecewa. “Jika saya melihat [sebuah merek] berusaha membayar seorang selebriti, sepertinya mereka mengurangi anggaran untuk bahan-bahannya. Saya lebih suka melihat yang sebaliknya.”

Daripada mengandalkan selebriti dan iklan untuk menjual parfum, Taylor berharap merek akan memfokuskan strategi pemasaran mereka pada pembangunan citra. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com