KOMPAS.com - Erotomania merupakan salah satu bentuk gangguan kesehatan mental delusi. Istilah erotomania sempat viral beberapa waktu lalu di media sosial, X.
Dr. Lahargo Kembaren SpKJ, menjelaskan, erotomania ditandai dengan keyakinan merasa dicintai orang lain, padahal kenyataannya tidak.
“Erotomania adalah itu delusi atau waham, ditandai dengan gejala adanya keyakinan (penderita erotomania), bahwa ada seseorang mencintai dirinya, padahal sebenarnya tidak demikian,” jelasnya kepada Kompas.com, Rabu (10/1/2023).
Baca juga:
Melansir dari Medical News Today, delusi adalah masalah kesehatan mental dimana penderitanya tidak dapat membedakan kenyataan dengan imajinasi. Salah satu bentuk delusi tersebut adalah erotomania.
Dalam kasus erotomania, penderita meyakini bahwa seorang yang mencintainya adalah seorang selebritas, publik figur, atau orang dengan status sosial lebih tinggi, dilansir dari Medical News Today.
“Orang tersebut bisa jadi orang atau tokoh terkenal, dan yang bersangkutan (penderita erotomania) akan menolak dan tidak dapat menerima bila dikatakan bahwa apa yang diyakininya itu tidak benar,” ungkap Lahargo.
Menarikanya, salah satu faktor yang meningkatkan risiko erotomania adalah paparan media sosial yang berlebih, melansir dari Medical News Today dan Psych Sentral.
Penelitian terbaru menunjukkan, bahwa media sosial diketahui dapat meningkatkan risiko erotomania dengan banyaknya informasi tersedia tentang individu secara online.
Media sosial menghilangkan beberapa hambatan antara orang-orang yang tidak saling kenal.
Lantas, bagaimana cara mencegah erotomania di tengah derasnya arus informasi dari media sosial saat ini? Lahargo mengatakan, setiap orang wajib mencegah kesehatan jiwa.
“Agar terhindar dari erotomania lakukan langkah-langkah menjaga kesehatan jiwa,” ucapnya.
Beberapa langkah dalam menjaga kesehatan jiwa antara lain:
Melansir Harvard Health Publishing dalam Kompas.com (22/9/2021), pola hidup sehat dapat dilakukan melalui lima hal. Meliputi, makan sehat, aktivitas fisik yang cukup, berat badan ideal, tidak merokok dan tidak mengonsumsi alkohol.
Lahargo menjelaskan, secara medis, erotomania merupakan bagian dari delusi karena terjadi peningkatan neurotransmiter dopamin di otak.
“Peningkatan neurotransmiter dopamin membuat saraf otak menjadi salah persepsi dengan situasi yang dihadapi,” jelasnya.
Salah satu penyebab erotomania adalah faktor stres. Oleh sebab itu, ia menyarankan agar setiap orang memiliki kemampuan manajemen stres yang baik.
“Segera melakukan konsultasi ke tenaga profesional kesehatan jiwa bila ditemukan tanda dan gejala stres atau masalah kesehatan jiwa yang mengganggu, jelasnya.
Meskipun terdengar klise, namun work life balance sangat bermanfaat bagi kesehatan jiwa dan raga. Salah satunya menekan risiko erotomania.
Work life balance, seperti yang didefinisikan oleh Cambridge Dictionary, merupakan suatu situasi ketika seseorang dapat mengalokasikan waktu secara imbang antara pekerjaan, keluarga, dan melakukan hal yang disukai secara pribadi
Melansir dari Mayo Clinic, support system adalah seseorang atau sekumpulan orang yang memberi dukungan pada individu. Support system bisa dari keluarga, teman, kolega, dan lingkungan sekitar.
Seperti disampaikan sebelumnya, salah satu faktor yang meningkatkan risiko erotomania adalah paparan media sosial yang berlebih. Oleh sebab itu, mengurangi akses internet berlebih dapat menekan risiko erotomania.
Baca juga: