Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perdagangan Organ, Bisakah?

Kompas.com - 21/01/2010, 07:44 WIB
Oleh: Indira Permanasari

Penculikan bayi di rumah sakit kerap diikuti isu terkait perdagangan organ tubuh dan keterlibatan sindikat internasional. Rumah persalinan disebut-sebut menjadi sasaran baru. Namun, mudahkah urusan transplantasi organ dan jaringan tubuh? Termasuk ketika dilakukan terhadap bayi?

Pencangkokan organ tubuh bayi bukan hal baru. Di New York, Elijah Moulton (8 bulan) menjalani transplantasi lima organ sekaligus (hati, usus halus, pankreas, usus besar, dan lambung) di Morgan Stanley Children’s Hospital New York tahun 2006.

Jauh sebelumnya, 26 Oktober 1984, sebuah peristiwa bersejarah bidang kedokteran terukir di Loma Linda University Medical Center. Dr Leonard L Bailey memelopori transplantasi jantung lintas spesies dari seekor babon kepada bayi yang baru lahir prematur. Operasi Baby Fae menjadi landasan prosedur pencangkokan jantung bayi di rumah sakit itu. Kini, ada ribuan transplantasi jantung pada bayi baru lahir di dunia.

Indonesia tak mau ketinggalan. RS Dokter Kariadi Semarang bekerja sama dengan Universitas Diponegoro dan National University Hospital Singapura melakukan cangkok hati pertama pada bayi berusia 1 tahun 3 bulan dengan donor sang ibu pada 2006. Sebanyak 25 persen hati sang ibu diambil dan dicangkokkan ke hati bayi yang rusak (Kompas, Oktober 2006).

Rumitnya pencangkokan

Dokter spesialis penyakit dalam dari Bidang Advokasi Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, Ari Fachrial Syam, berpendapat, seiring perkembangan teknologi kedokteran, pencangkokan organ tubuh termasuk untuk bayi kian maju. Namun, transplantasi organ sangat kompleks. Organ yang dapat dicangkokkan, antara lain, adalah ginjal, kornea mata, jantung, paru-paru, hati, kulit, pankreas, dan sumsum tulang belakang.

Di Indonesia, yang rutin ialah pencangkokan ginjal dan kornea mata. Kendala utama teknologi transplantasi jantung dan hati di Indonesia biasanya terkait donor.

Jika dilakukan ilegal, di tengah larangan komersialisasi organ dan keharusan kejelasan identitas donor, pencangkokan jadi lebih rumit. Kerumitan dimulai dari soal dokumen identitas donor, kecocokan donor, hingga penyimpanan organ (jika butuh disimpan terlebih dahulu). Pengerjaannya harus oleh tim dokter dan rumah sakit berfasilitas memadai. Risiko kesehatannya besar dan biayanya pun besar—skala ratusan juta hingga miliaran rupiah. Dengan biaya sebesar itu tentu penerima organ tidak mau sembarangan menerima organ donor.

Agar penerima organ bertahan hidup, donor diseleksi ketat. Harus diketahui profil dan kesehatannya, mulai dari usia, ukuran tubuh, screening (virus, jamur dan bakteri), golongan darah, reaksi antigen, hingga antibodi. Si penerima juga dipertimbangkan usia, jenis sakit, dan komplikasi lain yang diderita.

Kesamaan golongan darah saja tidak menjamin kesesuaian dan tingkat kesuksesan. Masih ada faktor kekebalan tubuh, yaitu reaksi tubuh terhadap benda asing. Ini dilihat dari reaksi antigen dan antibodi. Antigen merupakan zat yang dapat merangsang respons kekebalan. Antigen pada organ yang dicangkokkan akan memberikan peringatan kepada tubuh penerima bahwa organ itu merupakan benda asing dan terjadi serangan (penolakan).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com