Orangtua Achmad Syarief, Aziz, menilai pengadilan tak adil. ”Dari sekitar 100 penumpang yang jengkel dan melempar batu, anak saya yang dimintai tanggung jawab. Ini jelas tidak adil,” kata Aziz.
Menurut dia, para pelaku adalah pegawai toko di Mangga Dua, Jakarta Utara, yang bekerja sejak pagi dan pulang petang hari. ”Gaji mereka tidak seberapa. Jadi, mereka hanya mampu naik kereta ekonomi yang harga karcisnya Rp 2.000. Mereka tak mampu naik komuter yang tiketnya Rp 6.000- Rp 6.500 sekali jalan,” kata Aziz.
Kuasa hukum terdakwa, Pittor Parlindungan Hasibuan, mengatakan, sidang itu untuk kepentingan agar menimbulkan rasa jera. Selama persidangan, jaksa tidak bisa menghadirkan barang bukti dan saksi.
”Persidangan hanya mengandalkan rekaman CCTV milik PT KAI. Klien saya semuanya buta hukum. Hukuman satu tahun penjara terlalu berat buat mereka,” kata Pittor.
Menurut dia, majelis hakim seharusnya juga mempertimbangkan layanan publik PT KAI yang tidak pernah berubah. ”Selain tidak tepat waktu juga tidak pernah memberitahukan keterlambatan kereta yang ditunggu penumpang. Sampai sekarang, layanan KAI dikeluhkan penumpang,” kata Pittor.
Keenam terdakwa, warga Kota Bogor dan Citayam, Kabupaten Bogor, ditangkap 20 hari setelah pelemparan. Akibat pelemparan itu, PT KAI mengaku rugi lebih dari Rp 12 juta.