Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/09/2012, 19:20 WIB

KOMPAS.com - Dua ekor anak burung hantu berdampingan bersama orang tuanya. Si bungsu dari keluarga ini tampak menggemaskan dengan hidungnya yang merah dan tubuhnya yang berwarna-warni cerah.

Jangan heran dulu dengan deskripsi ini. Keluarga burung hantu ini adalah berupa aplikasi pada sebuah tas tangan. Keempatnya terbuat dari potongan batik beraneka motif dan warna yang tepiannya dihias payet dan mute mungil.

”Membuat burung hantu untuk tas itu sama seperti memberi kehidupan pada burung itu. Untuk hidung anak burung hantu misalnya, saya pilih kancing yang tidak terlalu besar. Kebayang kan, kalau hidungnya terlalu besar, si anak burung hantu ini pasti enggak suka,” tutur Igna Jose Najoan (43), pemilik bisnis tas aplikasi dengan nama Baqita by Becca.

Sebagai catatan, nama tersebut dibuat untuk menggantikan nama Becca yang sebenarnya telah digunakan sejak Igna memulai bisnis sekitar 10 tahun lalu. Namun, karena terlambat mendaftarkan hak paten, nama Becca telah lebih dulu digunakan produsen lain.

Prakarya
Igna memang senang mengumpulkan tas, sekaligus menggemari prakarya. Hobi ini, kemudian, diwujudkan dengan membuat tas yang hampir seluruh prosesnya buatan tangan, termasuk untuk aplikasi yang berfungsi sebagai pemanis tas.

Acara bazar bagi ekspatriat ketika tinggal di Singapura menjadi momen pertama Igna mencoba berbisnis tas. Dia membuat tas untuk anak-anak yang ditempeli gambar-gambar lucu, seperti bunga dan binatang, serta dengan konsep tabrak warna cerah. Selama sekitar empat tahun, sejak 1998, Igna memang tinggal di Singapura, mengikuti suaminya yang dipindah tugaskan ke negeri tetangga.

Kembali ke Indonesia di tahun 2002, Igna meneruskan bisnis membuat tas dengan konsep yang berbeda. Karena ”tas foto”, yaitu tas dengan aplikasi foto pemiliknya, sedang tren, Igna membuat tas dengan konsep ini. Bisnisnya bertahan sekitar 2-3 tahun, hingga akhirnya dia berkesempatan menjual tas di department store. Ia menjual tas tangan dan clutch dengan model sederhana, seperti yang pada umumnya dijual di toko.

Lewat dua tahun bekerja sama dengan department store, barulah Igna fokus membuat tas aplikasi. Bahan dasar tas, yang juga diproduksi sendiri, terdiri dari kulit, suede, kanvas, dan kain bertekstur seperti karung goni. Desain aplikasinya mengalami perkembangan, dari yang semula dua dimensi (hanya dibuat dari tempelan kain) menjadi tiga dimensi seperti sekarang ini.

Efek tiga dimensi ini didapat dari pernak-pernik seperti kancing yang sering dijadikan hidung binatang, payet sebagai mata, mute untuk dipasang di bagian tepi aplikasi, pita, dan lain-lain.

Belakangan, Igna juga mengeksplorasi batik sebagai bahan aplikasi. Proses pembuatannya memerlukan kecermatan dan rasa seni dalam menemukan pola warna, motif, dan tekstur yang cantik.

Prosesnya diawali dengan membuat aplikasi dari guntingan kain bermotif atau bahan lain. Guntingan dari kain ditempel lebih dulu di kain keras agar mudah ditempelkan pada bahan tas. Sebelumnya, potongan kain yang dibentuk bunga dan berbagai jenis binatang ini dihias mute, payet, dan hiasan mungil lainnya.

”Kalau ada payet atau mute yang dipasang salah, saya minta bongkar lagi. Tas kulit yang sedikit terkelupas pun, tidak akan saya jual,” kata Igna.

Tersaing produk China
Karena kualitas bahan dan proses pengerjaan yang detail inilah, harga jual yang ditetapkan Igna sering kali dinilai terlalu mahal, baik oleh konsumen, maupun pemilik usaha ritel. Igna bahkan punya pengalaman tidak mengenakkan ketika mengikuti pameran di Hongkong Fashion Week.

”Saya harus bersaing dengan barang produksi China yang sejenis dengan produk saya, tetapi dengan harga yang jauh lebih murah. Harga jual mereka bahkan jauh lebih murah dibandingkan ongkos produksi tas saya,” tutur Igna. Tak pelak, Igna pun kalah bersaing.

Hal serupa dialami saat mengikuti pameran di dalam negeri. Banyak produk tas lebih murah yang menjadi pilihan lebih banyak orang, meski dengan kualitas berbeda.

Perempuan yang berlatar belakang pendidikan teknik elektro Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, dan visual merchandising (Fashion Institute of Design and Merchandising, Los Angeles), ini mengakui, dia masih kesulitan menemukan cara pemasaran yang tepat untuk produk kerajinan tangan premium seperti yang dibuatnya.

Pameran besar, seperti Inacraft di Jakarta, memang mendatangkan pasar yang cukup signifikan, namun hanya digelar setahun sekali. Untuk menyewa di pusat perbelanjaan kelas menengah atas pun belum mungkin dilakukan karena harga sewa yang tinggi.

Wirausaha di bidang kreatif yang mengandalkan keterampilan tangan cukup banyak di negeri ini. Namun, tak sedikit yang punya pengalaman seperti Igna, kesulitan dalam pemasaran. Pihak terkait, pemerintah, dan swasta, tampaknya harus berperan dalam menentukan tempat bagi para produsen produk kerajinan premium ini kalau tak ingin potensi tersebut tergerus produk asing yang kian membanjiri pasar domestik.

(Yulia Sapthiani)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com