Pillemer menggambarkan orang-orang dalam penelitiannya sebagai ahli yang paling kredibel yang memiliki pengetahuan tentang bagaimana menjalani hidup bahagia, bahkan di masa-masa sulit.
Pada satu ketika, dia pernah meminta seorang peserta untuk menjelaskan mengapa ia merasa sangat puas.
"Dia memikirkannya dan menjawab, selama 89 tahun, saya telah belajar bahwa kebahagiaan adalah sebuah pilihan, bukan kondisi," kutip Pillemer.
Baca juga: 5 Kebiasaan di Pagi Hari yang Meningkatkan Kebahagiaan
Pillemer mencatat, para lansia yang ia ajak bicara membuat perbedaan penting antara kekuatan luar, peristiwa yang terjadi pada mereka, dan sikap internal mereka tentang kebahagiaan.
"Kebahagiaan bukanlah kondisi pasif yang bergantung pada peristiwa eksternal, juga bukan hasil dari kepribadian kita - misalnya terlahir sebagai orang yang bahagia," kata dia.
Sebaliknya, kebahagiaan membutuhkan perubahan pandangan secara sadar, di mana seseorang memilih - setiap hari - optimisme daripada pesimisme, harapan daripada keputusasaan.
Semakin kita menua, semakin kita melihat segala sesuatu seperti yang dilakukan oleh Kaisar Romawi Marcus Aurelius.
"Ketika kita merasa tertekan oleh suatu hal eksternal, yang membuat kita tertekan bukanlah hal itu sendiri, melainkan penilaian kita terhadap hal tersebut. Dan kita -sesungguhnya- dapat menghapusnya dalam sekejap."
Baca juga: 3 Macam Persahabatan Menurut Aristoteles, Penting untuk Kebahagiaan
Bayangkanlah semua pilihan yang membentuk karier dan kehidupan pribadi kita, pada akhirnya bermuara pada keputusan untuk menjadi bahagia.
Kita memutuskan apa yang harus dikejar dalam hidup dan apa yang menjadi prioritas.
Kita memutuskan bagaimana cara terbaik untuk menyalurkan waktu, energi, dan sumber daya yang ada.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.