Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Regulasi Emosi: Kunci Keharmonisan Hidup

Kompas.com - 30/06/2024, 12:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Dwike Samata Sukmasari, Clarisa Aniela, Evelyn Natania, dan Dr. Naomi Soetikno, M.Pd., Psikolog*

KEHARMONISAN tidak selalu mudah terwujud dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Seringkali, gangguan datang dalam bentuk konflik antara kita dengan orang lain.

Konflik dapat berupa pertengkaran ringan seperti perselisihan kata-kata hingga perkelahian fisik.

Terjadinya konflik juga tidak memandang ruang dan waktu. Konflik dapat terjadi di dunia nyata atau di dunia maya. Konflik juga dapat terjadi dalam jangka pendek maupun panjang.

Tidak hanya mengganggu keharmonisan, konflik-konflik yang terjadi juga berdampak pada keamanan dan ketertiban lingkungan di sekitar kita.

Menurut Simon dalam buku “Definitions and approaches to conflict and communication, Putnam, L. L. (2006)”, konflik terjadi karena adanya perbedaan kepentingan di antara orang-orang dalam kehidupan sosial bermasyarakat.

Banyak konflik yang kemunculannya berawal dari hal-hal sepele seperti perilaku gosip, perbedaan gaya hidup, perbedaan cara pandang, dan perilaku mencela orang lain.

Selain itu, konflik juga dapat disebabkan ketersinggungan. Misalnya, kata-kata yang tidak disengaja dapat menyakiti perasaan orang lain, walau hanya candaan.

Konflik personal seringkali dipicu kesulitan mengendalikan emosi. Hal ini dapat terjadi pada siapa pun, termasuk orang dewasa.

Sulitnya mengendalikan emosi seperti marah, cemburu, kecewa, sedih, cemas, takut, dan emosi negatif lainnya dapat menimbulkan ketegangan yang akhirnya merusak hubungan personal.

Ketegangan inilah yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain dalam interaksi sehari-hari.

Bagi orang yang mudah tersinggung, mereka mungkin cepat merasa sakit hati dan bereaksi dengan kemarahan.

Cara mengekspresikan kemarahan pun beragam, seperti mengumpat, memukul dan melempar barang-barang, hingga menyakiti orang lain secara fisik.

Terkadang, setelah meluapkan kemarahan dengan berkata-kata kasar dan nada tinggi atau bahkan tindakan fisik, muncul rasa penyesalan.

Di sisi lain, ada juga orang yang tidak mudah mengekspresikan kemarahannya dan cenderung memendam emosi tersebut. Emosi yang terpendam tanpa dikelola dengan baik, maka suatu waktu dapat meledak dalam situasi yang tidak terduga.

Bagi orang-orang yang memendam perasaan sedih, terkadang mereka menjadi kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain. Mereka mungkin enggan berkomunikasi atau bahkan tidak mau pergi ke tempat favorit yang biasa mereka kunjungi.

Terkadang mereka lebih memilih menyendiri. Sikap seperti ini akhirnya berpotensi mengganggu keharmonisan hubungan sosial mereka.

Emosi muncul sebagai bentuk reaksi cepat ketika ada peristiwa atau situasi tertentu. Terkadang, kita menanggapi kehadiran emosi negatif dengan tindakan-tindakan yang justru dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Emosi negatif yang tidak terkendali berpotensi menimbulkan dampak buruk pada kesehatan fisik dan mental, bahkan dapat memunculkan perilaku berisiko seperti bunuh diri.

Perlu kita ingat bahwa kita hanya dapat mengontrol emosi yang muncul pada diri sendiri dan tidak pada emosi orang lain.

Oleh karena itu, mengenali dan mengelola emosi yang muncul pada diri kita menjadi langkah pertama yang penting dalam mengatasi konflik dan menjaga keharmonisan dalam hubungan kita dengan orang lain.

Mari mengenali bagaimana emosi muncul dan cara mengaturnya dalam penjelasan berikut ini.

Menurut Gross dan Thompson dalam buku “Handbook of Emotions” yang ditulis oleh Lewis dan kawan-kawan (2010), emosi muncul dari adanya interaksi antara individu dan situasi.

Misalnya, ketika kita sedang makan siang dan seseorang tanpa sengaja menumpahkan gelas sehingga airnya tumpah (situasi), hal ini menarik perhatian kita (atensi).

Jika kita berpikir orang tersebut melakukannya dengan sengaja (penilaian), kita mungkin akan merasa marah (respons). Namun, jika kita yakin itu kecelakaan karena orang tersebut sedang terburu-buru (penilaian), kita mungkin tidak akan marah.

Lewis dan kawan-kawan juga menjelaskan emosi dapat dipicu oleh banyak hal, seperti perubahan yang terjadi di dalam pikiran kita, baik berupa perubahan yang dirasakan oleh tubuh maupun perubahan dalam pandangan kita terhadap sesuatu.

Selain itu, emosi juga dapat muncul dari kejadian yang dilakukan oleh orang lain atau di luar kontrol kita, seperti suara keras yang mengganggu, berpisah dengan orang yang disayangi dan lain sebagainya.

Secara umum, kita menggunakan akal sehat untuk menilai kejadian tersebut sebagai pemicu emosi. Emosi dapat timbul dari berbagai macam kejadian, seperti marah karena tidak mencapai tujuan, sedih karena kehilangan sesuatu, ataupun takut karena ketidakpastian.

Pengalaman sehari-hari juga membentuk bagaimana kita merespons secara emosional terhadap berbagai peristiwa.

Misalnya, anak-anak biasanya merasa takut saat didekati oleh orang asing, tapi merasa senang atau sedih saat didekati oleh orangtua mereka.

Kita juga belajar dari budaya tentang emosi apa yang sesuai dalam situasi tertentu, seperti merasa sedih saat teman kehilangan orangtua.

Namun, tidak semua orang merespons pemicu emosi dengan cara yang sama. Misalnya, saat menonton film horor, kita merasa takut, sementara orang lain mungkin tidak.

Ini menunjukkan bahwa meskipun ada panduan umum tentang respons emosional, respons setiap orang dapat bervariasi berdasarkan pengalaman dan pengetahuan masing-masing.

Mengatur emosi adalah hal penting yang perlu kita lakukan. Menurut Gross, regulasi emosi adalah proses di mana seseorang mengontrol emosi mereka, kapan mereka merasakannya, dan bagaimana mereka mengalaminya serta mengekspresikannya.

Kemampuan untuk mengatur emosi dengan baik sangat penting untuk menjaga kesehatan mental kita.

Dalam jurnal yang dituliskan oleh Verzeletti dan kawan-kawan (2016), disebutkan bahwa jika memiliki kesehatan mental yang baik, kita dapat menghadapi stres dengan lebih baik dan lebih jarang menunjukkan gejala stres.

Selain itu, hubungan kita dengan orang-orang di sekitar kita juga akan lebih baik, dengan lebih sedikit konflik atau pertengkaran.

Houben dan kawan-kawan (2016) juga menulis bahwa ketika kita menghadapi hal-hal yang membuat kita tidak nyaman, maka kita akan lebih mudah menyesuaikan diri dan jarang berpikiran negatif.

Seseorang yang memiliki kemampuan mengatur emosi dengan baik akan memiliki hubungan sosial yang lebih baik.

Ia cenderung akan berbagi emosi positif maupun negatif dengan orang lain, sehingga hubungan dengan teman-temannya akan menjadi lebih dekat. Orang-orang di sekitarnya pun cenderung lebih menyukai orang tersebut.

Kebalikan dari regulasi emosi adalah disregulasi emosi. Disregulasi emosi adalah kesulitan yang dialami seseorang dalam mengubah atau mengendalikan emosi yang dirasakannya.

Kesulitan ini menyebabkan emosi negatif yang muncul dapat memengaruhi masalah atau situasi.

Seseorang yang mengalami disregulasi emosi bukan berarti mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengatur emosi sama sekali.

Namun, disregulasi emosi dapat terjadi ketika seseorang mengalami situasi di mana emosi mereka sangat kuat. Ini bisa menyebabkan seseorang melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan, mengganggu pencapaian tujuan, dan menyebabkan kebingungan.

Orang yang mengalami disregulasi emosi sering bersikap spontan tanpa pertimbangan terlebih dahulu ketika mereka merasa sedih, marah, atau takut.

Misalnya, saat marah, mereka mungkin melempar barang, berteriak, atau mengamuk, dan kesulitan mengidentifikasi emosi yang mendasarinya. Hal ini bisa menimbulkan rasa bersalah, perasaan terbebani oleh emosi, dan mengganggu aktivitas sehari-hari.

Kesulitan dalam mengatur emosi bisa membuat seseorang melakukan tindakan yang merugikan dirinya sendiri, seperti melukai diri sendiri untuk meredakan ketegangan dan mencari ketenangan. Namun, tindakan ini tidak menyelesaikan masalah.

Kesulitan dalam mengatur emosi juga berkaitan dengan gangguan kesehatan yang lebih serius, seperti kecemasan dan depresi.

Maka dari itu, kita perlu mengetahui cara-cara untuk mengatur emosi pada diri sendiri. Berikut ini merupakan beberapa tips yang dapat dilakukan.

Pertama, berikan nama pada emosi yang sedang dirasakan.

Sebelum memberikan nama pada emosi yang dirasakan, kita perlu mengetahui emosi tersebut terlebih dahulu, di mana ini membutuhkan refleksi diri.

Memberikan nama pada emosi atau menuangkan emosi kita ke dalam bentuk verbal dapat mengurangi kebingungan atau beban mental terhadap apa yang sedang kita rasakan.

Kedua, berceritalah kepada orang yang dapat dipercaya.

Membagikan perasaan negatif kepada orang yang dipercaya dapat menghasilkan dampak yang baik bagi kesehatan psikologis dan fisik.

Menekankan aspek-aspek positif dari situasi yang menimbulkan emosi juga dapat membantu mengurangi intensitas dari emosi negatif.

Ketiga, lakukan latihan pernapasan.

Latihan pernapasan merupakan salah satu bentuk latihan mindfulness atau melatih diri untuk berada di “saat ini” dan “sekarang”.

Hal ini cukup mudah untuk dilakukan. Kita hanya perlu menarik napas selama lima detik, menahan napas selama lima detik, dan kemudian membuang napas selama lima detik.

Lakukan latihan ini selama dua hingga tiga kali. Latihan ini bermanfaat untuk membuat kita merasa lebih tenang.

Keempat, lakukan latihan 5-4-3-2-1.

Serupa dengan latihan pernapasan, latihan ini juga bermanfaat untuk membuat kita merasa lebih tenang.

Latihan ini dapat dilakukan dengan cara mengidentifikasi lima hal yang dapat dilihat, empat hal yang dapat disentuh, tiga hal yang dapat didengar, dua hal yang dapat dicium, dan satu hal yang dapat dicicipi.

Kelima, mengendalikan ruminasi atau pikiran yang tidak sehat.

Untuk mengendalikan pikiran yang tidak sehat dan emosi yang sedang berkecamuk, hal pertama yang dapat kita lakukan adalah menenangkan diri dengan melakukan latihan pernapasan.

Setelah kita merasa lebih tenang, tanyakan pada diri sendiri apa keuntungan dari pikiran-pikiran ini?

Tanyakan pula, apakah saya telah benar dalam memahami situasinya? Apakah saya berlebihan dalam melihat beberapa aspek? Bagaimana hal ini akan memengaruhi kesehatan saya?

Dengan menantang pikiran kita sendiri, kita belajar untuk berpikir lebih rasional dan memberikan respons bijak ketika emosi muncul.

Cara-cara di atas mungkin tidak dapat langsung menyelesaikan masalah atau membuat merasa jauh lebih baik, tapi cara-cara di atas diharapkan dapat membantu kamu untuk merasa lebih tenang.

Dengan demikian, kamu dapat berpikir lebih rasional dan memberikan reaksi atau respons yang bijak terhadap emosi yang muncul. Gunakanlah cara-cara di atas pada situasi dan konteks yang tepat.

Kita perlu memahami bahwa merasakan emosi adalah hal yang wajar. Penting bagi kita untuk memberikan waktu kepada diri sendiri untuk mengenali, menerima, dan merasakan emosi yang muncul.

Dalam proses ini, kita bisa lebih memahami apa yang sebenarnya kita rasakan dan mengapa kita merasakannya.

Namun, perlu diingat bahwa meskipun merasakan emosi adalah sesuatu yang wajar, kita juga harus berhati-hati agar tidak berlarut-larut dalam emosi negatif.

Emosi negatif jika dibiarkan terus menerus dapat mengendalikan hidup kita dan menghambat kemampuan kita untuk berfungsi dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.

Sebaliknya, penting bagi kita untuk mempelajari berbagai cara untuk meregulasi emosi tersebut dengan sehat dan efektif.

Ini bisa melibatkan teknik-teknik seperti latihan mindfulness, berbicara dengan teman atau psikolog, atau kegiatan kreatif lainnya yang dapat membantu kita mengolah dan mengatasi emosi yang sulit.

Jika kamu merasa bahwa emosi yang kamu rasakan sudah tidak terkendali dan kamu kesulitan untuk mengatasinya sendiri, maka jangan ragu untuk mencari bantuan profesional.

Kamu bisa berkonsultasi dengan psikolog atau profesional kesehatan mental lainnya yang dapat memberikan bantuan dan dukungan yang kamu butuhkan.

Ingatlah bahwa emosi yang kamu rasakan tidak mendefinisikan siapa dirimu yang sebenarnya. Emosi hanyalah respons sementara terhadap situasi tertentu dan tidak menentukan nilai atau identitas dirimu sebagai individu.

Dengan memahami dan mengelola emosi secara bijak, kita dapat menjalani hidup dengan lebih seimbang dan positif.

*Dwike Samata Sukmasari, Clarisa Aniela, Evelyn Natania, Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara
Dr. Naomi Soetikno, M.Pd., Psikolog, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com