Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Titik Nol (200): Sebuah Desa di Pinggiran Peshawar

Kompas.com - 12/05/2009, 08:01 WIB

Nama desa Safed Sang sebenarnya juga berasal dari bahasa Dari, atau Farsi, bahasanya kaum minoritas di Afghanisan termasuk orang Hazara dan Tajik, walaupun di desa ini semua penduduknya Pashtun. Safed Sang berarti ‘batu putih’, dinamai demikian karena ada tambang pualam di sini. Jaraknya tidak jauh dari Peshawar, kalau naik bus sekitar 40 menit. Tetapi waktu kami berangkat dari ibu kota N.W.F.P itu, bus sudah tidak ada. Kami ganti kendaraan sampai lima kali, dari bus, truk, taksi, mobil, sampai ke angkot Suzuki.

Tetapi saya tak menyesal sampai ke sini. Saya melihat sisi lain sebuah desa mungil, yang nyaris masuk wilayah tribal area. Tidak semua desa Pashtun seseram yang digambarkan media. Buktinya Safed Sang sangat hijau menyejukkan. Ladang gandum menghampar di kanan kiri jalan. Langit biru bermandi awan, berubah menjadi semburat warna merah dan jingga ketika mentari mulai terbenam. Saya melupakan debu dan kelabu yang selalu menyelimuti Peshawar. Orang-orang desa berdatangan, memandang saya dengan penuh rasa ingin tahu, karena desa ini hampir sama sekali tak pernah didatangi orang asing.

Sampai di sini, saya menyerahkan sepenuhnya nasib saya di tangan Ziarat sang tuan rumah. Orang Pashtun, walaupun terkenal garang dan keras, sebenarnya adalah pengikut setia standar hidup suku mereka yang disebut pashtunwali. Poin nomor satu dari pedoman hidup ini adalah melmastia, keramahtamahan. Mereka harus memberikan yang terbaik bagi tamu – tak peduli apa sukunya, bangsanya, agamanya – tanpa mengharapkan imbal jasa apa pun. Tuan rumah bahkan terkadang merelakan nyawanya untuk melindungi sang tamu. Itulah alasan yang paling sering dipakai untuk menjelaskan mengapa Mullah Omar tak mau menyerahkan Osama bin Laden walaupun negaranya diporakporandakan tentara musuh. Osama adalah tamu. Ribuan nyawa orang Afghan melayang untuk melindungi tamu yang satu ini.

Ketika malam tiba, desa Safed Sang berganti wajah. Bukan lagi hijau yang menyejukkan, sekarang adalah kegelapan yang mencekam. Tak ada listrik di kota ini. Gelap gulita. Jalanan berbatu dan berdebu dalam seketika sepi. Semua orang pulang ke rumah. Saya hanya sempat menenggak segelas jus buah di warung pinggir jalan, sebelum akhirnya Ziarat mengajak saya pulang.

Di bawah bayang-bayang bulan saya melihat orang berkeliaran mencangklong senapan Kalashnikov. Mungkin khassadar – tentara suku, mungkin pula penduduk biasa. Saya tak tahu pasti. Dalam gelap ini semua orang tampak sama. Semua orang mengenakan pakaian monoton shalwar kamiz.

Tetapi saya tak takut. Ada Ziarat yang melindungi saya. Sebagai tamu, saya berserah diri pada kemurahan hati orang Pashtun yang menjujung tinggi melmastia.


(Bersambung)

_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus  Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com