Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 17/10/2018, 17:29 WIB
Nabilla Tashandra,
Glori K. Wadrianto

Tim Redaksi

MANOKWARI, KOMPAS.com - Kabar tentang terjadinya kasus pencabulan anak korban bencana gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah sungguh menambah kedukaan yang terjadi.

Korban yang masih berusia tujuh tahun, dan masih duduk di kelas 1 SD menjadi topik pemberitaan media lokal.

Disebutkan, dia menjadi korban aksi pencabulan di tempat pengungsiannya di Makassar, Sulawesi Selatan. 

Kasus terbaru itu merupakan salah satu contoh dari maraknya kasus sejenis di Tanah Air.

Angka pencabulan anak sebagai bagian dari kekerasan terhadap anak, ternyata dirasa kian meningkat dan terjadi di banyak daerah di Indonesia.

Baca juga: Pelaku Pencabulan 8 Anak di Surabaya Diancam Hukuman 15 Tahun Penjara

Asumsi ini mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik menggulirkan sebuah survei khusus.

"Kami baru saja melakukan kerja sama dengan BPS, rencananya Desember ini datanya baru ada."

Demikian dikatakan Menteri PPPA Yohana Yembise seusai memberi kuliah umum di Universitas Papua (Unipa) Manokwari, Papua Barat, Rabu (17/10/2018).

Namun, kata dia, dari banyaknya kasus pencabulan anak yang terjadi, sebagian besar dilakukan oleh orang dekat di keluarga. Mulai dari orangtua, paman, kakek, dan lainnya.

Hal ini tentu amat memprihatinkan dan tengah dikaji penyebabnya.

Baca juga: WC Kering, Kasus Pencabulan Siswi SMP Terbongkar

Misalnya, apakah kasus ini disebabkandesain rumah yang membuat si anak tak memiliki kamar sendiri atau penyebab lainnya.

Cegah pencabulan anak

Angka kekerasan terhadap anak yang terus meningkat bisa dilihat sebagai keterbukaan masyarakat dalam menyikapi kasus ini.

Artinya, semakin banyak orang yang berani melaporkan kejadian di sekitarnya atau bahkan yang dialaminya.

"Dulu kan orang takut melapor karena malu, keluarga malu, aib, dan sebagainya, tapi sekarang sudah bisa," kata Yohana.

Anak korban pencabulan mungkin akan takut melaporkan hal yang dialaminya, apalagi jika mereka diancam oleh pelakunya untuk tidak melapor.

Baca juga: Diiming-Imingi Uang Rp 5 Ribu, 2 Bocah Jadi Korban Pencabulan

Namun, kita sebagai orang sekitar mungkin bisa melihat tanda-tanda perubahan perilaku yang terjadi.

Misalnya, ketika seorang anak yang dikenal periang tiba-tiba jadi pendiam atau takut pada orang lain yang mendekatinya.

Ada pun tanda-tanda yang lebih rinci dapat dilakukan oleh psikolog.

"Kalau dia diam, takut-takut terhadap orang kalau mendekati dia, itu perlu dicek," tutur dia.

Ketika mendeteksi adanya potensi pencabulan anak atau kekerasan anak lainnya di lingkungan sekitar, Yohana menganjurkan untuk datang ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A).

Baca juga: Fraksi PPP Minta Larangan Pencabulan Dipertegas di RKUHP

Atau, bisa juga mendatangi dinas terkait, serta unit pelayanan perempuan dan anak di kantor kepolisian.

"Kalau terdeteksi di mana ada kekerasan itu mohon dilaporkan. Undang-Undang sudah ada tinggal bagaimana melaporkannya saja," ujar guru besar pertama perempuan dari Papua itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com