Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Kemewahan Pangan Lokal untuk Wisatawan, Sementara Balita Makan Kemasan

Kompas.com - 28/12/2023, 09:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ditambah lagi menghadapi proses pertumbuhan yang tidak sesuai, para ibu kembali didera iklan tanpa etika.

Masa tumbuh gigi yang menghabiskan 75% usia anak di bawah 2 tahun, menjadi momen horor risiko stunting muncul.

Kemampuan kunyah di bawah rata-rata, mirisnya kesehatan gigi dan mulut menjadi faktor utama anak sulit makan dan orangtua kesasar semakin jauh dengan produk kemasan yang ‘lebih praktis’ ketimbang masak sendiri dan dilepeh akhirnya terbuang.

Semua yang saya tuliskan di atas terjadi hingga pelosok kampung dan dusun. Apabila pemerintah daerahnya tidak cukup memberi perhatian, apalagi layanan kesehatannya terbelit kerja sama dengan industri, maka habislah sudah: gembar-gembor pangan lokal hanya jargon sesaat yang hanya muncul di jepretan kamera buat laporan ke pusat.

Baca juga: Promosi Kesehatan: Iklan Layanan Masyarakat yang Ketinggalan

Makanan Kemasan dan Susu Formula Jadi Andalan

Balita kurus yang tersenyum malu-malu di balik daster ibunya, menggenggam wafer murahan atau ‘sosis siap santap’ harga seribuan, membuat saya merasa berdosa menikmati ikan bakar atau pepes ayam lezat di meja makan.

Bukan sang ayah miskin atau tidak paham gizi. Tapi yang selalu jadi alasan, anaknya tidak mau makan ikan dan ayam. Amis. Dibuang. Dilepeh.

Intervensi Puskesmas dan Posyandu bukan ranah saya untuk menilai. Tapi tak jarang, nakes dengan mudah menganjurkan susu formula. Bahkan, menganjurkan PKMK mahal itu – produk untuk kepentingan medik khusus – yang dikenal awam ‘susu tinggi kalori’ – apabila sang anak sudah jatuh dalam gizi kurang dan gizi buruk.

Di tatanan yang lebih dini, saat berat badan anak sebulan tidak naik, masih dianggap ‘baik-baik saja’ selama grafik pertumbuhannya masih ‘di kurva hijau’.

Baca juga: Stunting: Gangguan Gizi Menahun yang Berawal dari Ketidaktahuan Beruntun

Padahal apabila tindakan efektif berhasil diterapkan, maka anak tidak bablas terjerumus masalah yang lebih berat.

Kerap kali berat badan tidak naik, tidak melulu masalah makanan, tapi cara pemberian makannya atau anaknya yang sedang bermasalah.

Namun banyak ibu terjebak dengan aneka menu MPASI ala-ala, yang bikin repot dengan bahan-bahan mahal fantastis di etalase online.

Nyatanya, memeriksakan anak untuk risiko anemia, infeksi saluran kemih, infeksi TBC atau sekadar jamur mulut yang mengganggu lebih efektif menuntaskan masalah.

Semoga di tahun yang baru ini, akses pangan lokal lebih diutamakan bagi konsumsi anak negri.

Kemudahan dan kemurahan mendapatkan pangan lokal bermutu menjadi agenda pemerintah, tanpa perlu gembar gembor aneka proyek yang sulit pengejawantahannya. Para orangtua lebih mampu menjadi panutan, ketimbang makan hasutan.

Dengan demikian, tidak ada lagi wilayah wisata berpanorama surga dan aneka sumber pangan sehat cuma jadi kemewahan turis yang makan nikmat.

Sementara, rakyat sendiri ditakut-takuti dengan informasi sliweran sosial media yang diulang bertahun-tahun: jangan makan ikan, nanti cacingan. Jangan makan tuna, merkurinya tinggi. Jangan makan telur, nanti bisulan. Jangan makan ayam, itu hasil suntikan. Jangan makan kacang-kacangan, isinya anti nutrisi.

Alhasil semua yang terbaik itu diboyong orang ke negeri seberang, dan anak bayi kita cukup puas makan hasil olahan industri di negri sendiri. Marah enggak?

Baca juga: Bukan Makanannya yang Harus Diinovasi, tapi Cara Penyampaian Pesannya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com