Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Kemewahan Pangan Lokal untuk Wisatawan, Sementara Balita Makan Kemasan

Kompas.com - 28/12/2023, 09:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tahun 2023 saya jalani dengan puluhan perjalanan ke penjuru Nusantara bermodalkan sarana darat, laut, dan udara.

Menempuh medan yang ‘biasa-biasa’ saja hingga yang ‘di luar kebiasaan’. Kolaborasi pemerintah pusat – daerah dan swasta menjadikan estafet pemahaman soal stunting, perbaikan gizi, sampai peningkatan kapasitas kader dimungkinkan.

Tak dapat dipungkiri, perut ini senantiasa bahagia diisi aneka hidangan dan lauk Nusantara sebagai kemewahan tak terperikan.

Namun, di setiap momen makan bersama, selalu terselip ungkapan sesal, heran sekaligus pertanyaan di luar nalar: Kok bisa ya, daerah dengan hasil pangan melimpah begini – angka stunting masih tinggi?

Baca juga: Pemberian Makanan Tambahan Balita, Solusi atau Adiksi?

Suatu paradoks yang bukan hanya memalukan, tapi juga kondisi yang harus segera dibenahi.

Amat tidak masuk akal, jika turis atau wisatawan makan enak-enak bergelimpangan menu lokal, tapi gizi anak daerah jauh dari kata optimal.

Tanpa perlu menyalahkan siapa-siapa, sudah waktunya edukasi tidak lagi sebatas orasi, ceramah sana sini, sementara ibu-ibu muda ‘belajar’ memberikan makan bayinya melalui kanal medsos yang penuh sensasi.

Dimulai dari rasa tidak percaya diri, Air Susu Ibu kerap direndahkan oleh para tenaga kesehatan (nakes) yang pemahamannya nol besar tentang manajemen laktasi.

Di banyak daerah, perang pamer susu formula siapa yang paling mahal jadi ajang gengsi, bahkan pengurus Posyandu ada yang terang-terangan membagi sufor bagai etalase mini market – sebagai ‘daya tarik’ agar warga mau ke Posyandu katanya.

ASI sudah sering dilecehkan, diberi label asupan bayi miskin dan bikin kurus, bahkan dianggap egoisme para ibu yang memaksakan diri buat menyusui, sementara pertumbuhan bayi tidak optimal (padahal yang salah bukan ASInya, tapi perlekatan dan proses menyusu bayi yang gagal fokus).

Begitu pula banyak oknum nakes menganggap sepele makanan pendamping asi buatan rumah, disebut tak tertakar baik atau proses masak yang salah ‘menghilangkan nilai gizi’. Padahal, membuat bubur sederhana tidak perlu ada istilah ‘nilai gizi yang hilang’.

Sangat tidak bijak mendewakan bubur bayi kemasan yang justru diproduksi massal menggunakan panas tinggi industry, yang pastinya merusak antioksidan dan beberapa komponen nutrisi pangan utuh.

Menjadi ‘kelihatan bergizi’ karena imbuhan, penambahan eksternal yang dikenal dengan istilah ‘fortifikasi’.

Baca juga: Keragaman Pangan Lokal, Masuk Akal atau Delusional?

Kebingungan para orangtua dan dorongan cara hidup praktis, membuat bayi-bayi Indonesia sejak awal telah mengenal aneka produk kemasan. Berbeda kualitas, tergantung kasta tentunya.

Pola asuh yang amburadul semakin menegaskan ‘perlunya’ produk-produk ini, karena mendidik para ibu belum tentu ‘masuk di otak’.

Ditambah lagi menghadapi proses pertumbuhan yang tidak sesuai, para ibu kembali didera iklan tanpa etika.

Masa tumbuh gigi yang menghabiskan 75% usia anak di bawah 2 tahun, menjadi momen horor risiko stunting muncul.

Kemampuan kunyah di bawah rata-rata, mirisnya kesehatan gigi dan mulut menjadi faktor utama anak sulit makan dan orangtua kesasar semakin jauh dengan produk kemasan yang ‘lebih praktis’ ketimbang masak sendiri dan dilepeh akhirnya terbuang.

Semua yang saya tuliskan di atas terjadi hingga pelosok kampung dan dusun. Apabila pemerintah daerahnya tidak cukup memberi perhatian, apalagi layanan kesehatannya terbelit kerja sama dengan industri, maka habislah sudah: gembar-gembor pangan lokal hanya jargon sesaat yang hanya muncul di jepretan kamera buat laporan ke pusat.

Baca juga: Promosi Kesehatan: Iklan Layanan Masyarakat yang Ketinggalan

Makanan Kemasan dan Susu Formula Jadi Andalan

Balita kurus yang tersenyum malu-malu di balik daster ibunya, menggenggam wafer murahan atau ‘sosis siap santap’ harga seribuan, membuat saya merasa berdosa menikmati ikan bakar atau pepes ayam lezat di meja makan.

Bukan sang ayah miskin atau tidak paham gizi. Tapi yang selalu jadi alasan, anaknya tidak mau makan ikan dan ayam. Amis. Dibuang. Dilepeh.

Intervensi Puskesmas dan Posyandu bukan ranah saya untuk menilai. Tapi tak jarang, nakes dengan mudah menganjurkan susu formula. Bahkan, menganjurkan PKMK mahal itu – produk untuk kepentingan medik khusus – yang dikenal awam ‘susu tinggi kalori’ – apabila sang anak sudah jatuh dalam gizi kurang dan gizi buruk.

Di tatanan yang lebih dini, saat berat badan anak sebulan tidak naik, masih dianggap ‘baik-baik saja’ selama grafik pertumbuhannya masih ‘di kurva hijau’.

Baca juga: Stunting: Gangguan Gizi Menahun yang Berawal dari Ketidaktahuan Beruntun

Padahal apabila tindakan efektif berhasil diterapkan, maka anak tidak bablas terjerumus masalah yang lebih berat.

Kerap kali berat badan tidak naik, tidak melulu masalah makanan, tapi cara pemberian makannya atau anaknya yang sedang bermasalah.

Namun banyak ibu terjebak dengan aneka menu MPASI ala-ala, yang bikin repot dengan bahan-bahan mahal fantastis di etalase online.

Nyatanya, memeriksakan anak untuk risiko anemia, infeksi saluran kemih, infeksi TBC atau sekadar jamur mulut yang mengganggu lebih efektif menuntaskan masalah.

Semoga di tahun yang baru ini, akses pangan lokal lebih diutamakan bagi konsumsi anak negri.

Kemudahan dan kemurahan mendapatkan pangan lokal bermutu menjadi agenda pemerintah, tanpa perlu gembar gembor aneka proyek yang sulit pengejawantahannya. Para orangtua lebih mampu menjadi panutan, ketimbang makan hasutan.

Dengan demikian, tidak ada lagi wilayah wisata berpanorama surga dan aneka sumber pangan sehat cuma jadi kemewahan turis yang makan nikmat.

Sementara, rakyat sendiri ditakut-takuti dengan informasi sliweran sosial media yang diulang bertahun-tahun: jangan makan ikan, nanti cacingan. Jangan makan tuna, merkurinya tinggi. Jangan makan telur, nanti bisulan. Jangan makan ayam, itu hasil suntikan. Jangan makan kacang-kacangan, isinya anti nutrisi.

Alhasil semua yang terbaik itu diboyong orang ke negeri seberang, dan anak bayi kita cukup puas makan hasil olahan industri di negri sendiri. Marah enggak?

Baca juga: Bukan Makanannya yang Harus Diinovasi, tapi Cara Penyampaian Pesannya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pijat Wajah dengan Gua Sha, Waspadai Risiko Ini

Pijat Wajah dengan Gua Sha, Waspadai Risiko Ini

Look Good
Berapa Kali Sehari Menggunakan Gua Sha?

Berapa Kali Sehari Menggunakan Gua Sha?

Look Good
Apa Itu Love Language?

Apa Itu Love Language?

Feel Good
Apakah Gua Sha Bisa Meniruskan Pipi?

Apakah Gua Sha Bisa Meniruskan Pipi?

Look Good
Kini Ada Pisau Lipat Swiss Army Tanpa Mata Pisau, Kenapa?

Kini Ada Pisau Lipat Swiss Army Tanpa Mata Pisau, Kenapa?

Look Good
Ketika Gaya Kampus Mengubah Cara Orang Berpakaian

Ketika Gaya Kampus Mengubah Cara Orang Berpakaian

Look Good
6 Cara Mencukur Bulu Ketiak yang Benar agar Tak Iritasi 

6 Cara Mencukur Bulu Ketiak yang Benar agar Tak Iritasi 

Look Good
4 Cara Membuat Masker Kopi untuk Wajah Sesuai Kondisi Kulit

4 Cara Membuat Masker Kopi untuk Wajah Sesuai Kondisi Kulit

Look Good
3 Tips Merawat Rambut Bercabang, Rutin Gunting Ujung Rambut

3 Tips Merawat Rambut Bercabang, Rutin Gunting Ujung Rambut

Look Good
5 Cara Menghilangkan Bulu Ketiak Secara Alami 

5 Cara Menghilangkan Bulu Ketiak Secara Alami 

Look Good
Apakah Kopi Dapat Menghilangkan Bulu Ketiak? 

Apakah Kopi Dapat Menghilangkan Bulu Ketiak? 

Feel Good
6 Tips Menghindari Rambut Rontok Saat Tidur

6 Tips Menghindari Rambut Rontok Saat Tidur

Look Good
Kunyit Bisa Menghilangkan Bulu Ketiak, Simak Caranya 

Kunyit Bisa Menghilangkan Bulu Ketiak, Simak Caranya 

Look Good
Cara Membuat Rambut Menjadi Tebal secara Alami

Cara Membuat Rambut Menjadi Tebal secara Alami

Look Good
Zodiak dengan Sifat Menyebalkan, Siapa Juaranya?

Zodiak dengan Sifat Menyebalkan, Siapa Juaranya?

Feel Good
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com