Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Mengembalikan Rasa Percaya Diri Menuju Kemandirian Pangan

Kompas.com - 20/06/2024, 20:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Lebih bangga jika bisa dijual ke orang asing. Lebih bangga jika bisa dapat uang banyak, sehingga mampu beli susu formula saat anak sudah disapih, beli berdus-dus produk instan yang “anaknya suka”, beli aneka barang mewah yang sesungguhnya merupakan kebutuhan tersier – menggantikan kedudukan pendidikan (yang malah didudukkan pada level tersier itu).

Tak ayal saya berpikir, apakah dampak penjajahan tiga ratus tahun lebih membentuk karakter turu- temurun kita, dibanding Jepang yang tidak pernah dijajah ?– sebaliknya malah menjajah negri orang.

Baca juga: Pemberian Makanan Tambahan Balita, Solusi atau Adiksi?

Kemiskinan pendidikan justru akan semakin memiskinkan segala aspek kehidupan.

Saya masih ingat dalam salah satu bab buku cerita terkenal “Toto Chan” disebut, anak-anak sekolah diharuskan membawa bekal beragam, yang di dalamnya ada “makanan dari gunung” bertemu dengan “makanan dari laut” – secara implisit mereka dididik pola makan seimbang.

Sementara di negeri kita, berkembang ajaran-ajaran simpang siur yang membuat orang ketakutan makan. Sebaliknya, didorong mengonsumsi produk pendulang cuan.

Saya masih punya harapan, pemerintah akan mewujudkan infrastruktur terutama tol laut dibarengi sistem edukasi dan peningkatan literasi publik, sehingga ikan dari perairan Sulawesi bisa dinikmati penduduk Cimahi, ketimbang impor salmon.

Begitu pula mereka yang di pegunungan Papua, merasa aman kembali mengonsumsi aneka ubi, mengolah tangkapan babi hutan, ulat sagu atau di pesisir dengan kenikmatan lobster Papua yang lebih mudah tersedia, tanpa perlu berharap belas kasihan donator, yang justru merusak kearifan pangan lokal dengan produk industri.

Pembenahan semua permasalahan di atas tentu perlu kerjasama lintas kementerian, lintas sektoral, dengan kesamaan visi dan misi.

Dimulai dari hal yang amat sederhana, seperti penghargaan proses menyusui kembali menjadi fitrah manusia -- dengan kabar baik cuti melahirkan sudah disahkan DPR menjadi enam bulan.

Normalisasi menyusui anak dimana pun, kapan pun, sehingga kubikel atau ruang ibu menyusui anak semakin mudah ditemukan di ruang publik, tanpa rasa risih karena para laki-laki ikut menongkrong atau malah dijadikan tempat penyimpanan barang tenaga kebersihan, saking tak terpelihara baik.

Normalisasi pangan keluarga menu Indonesia, karedok tidak perlu berubah jadi salad berlumur saus botol. Lemper tidak perlu jadi onigiri. Dan martabat bangsa dimulai dari rasa percaya diri.

Baca juga: Kemewahan Pangan Lokal untuk Wisatawan, Sementara Balita Makan Kemasan

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com