Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Mengembalikan Rasa Percaya Diri Menuju Kemandirian Pangan

Kompas.com - 20/06/2024, 20:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Saya rasa ada yang salah dan tidak beres dengan pemahaman istilah “menjadi negara maju” di tanah air kita.

Tak usah jauh-jauh, saat susu formula dan pangan kemasan anak diperkenalkan, sebagian besar orangtua menganggap menyusui anak itu ketinggalan zaman. Kemudian muncul stigma miskin, karena tak mampu beli susu berkardus-kardus.

Belum lagi semakin banyak nakes (tenaga kesehatan) yang mendorong penggunaan formula pada anak, yang sebenarnya tidak membutuhkan, karena sang ibu masih menghasilkan ASI deras.

Sayangnya, nakes kita juga dididik lebih percaya susunan premiks mineral “yang tertakar” sebagaimana tertera di kardus, ketimbang lebih banyak belajar kekayaan pangan utuh yang justru lebih seimbang dan memiliki bioavailibitas tinggi, jika dimakan atau diolah dengan benar.

Baca juga: Menuju Indonesia Emas, Saatnya Bergegas Lakukan Perbaikan Gizi

Kemampuan Memertahankan Kearifan Lokal

Sebagai negara industri canggih, Jepang terkenal sebagai produsen aneka produk makanan kemasan bahkan bumbu masak yang laris dipakai di Indonesia: vetsin.

Namun, bayi-bayi mereka justru tidak diperkenankan mengonsumsi produk olahan seheboh kita, bahkan baru di usia sembilan bulan bayi di sana boleh mengonsumsi garam.

Itu pun penggunaan garam dibatasi hingga 0.1 gram, sebab mereka lebih didorong belajar mengenal khasanah rasa dari bahan pangannya.

Sementara di negeri kita, tanpa taburan bubuk “penyedap” dianggap makanan hambar. Betapa ngerinya!

Membangun khasanah rasa, tidak sama dengan memupuk kebiasaan makan yang mengarah akumulasi penyakit kronik selepas usia kanak-kanak.

Baca juga: Program Makan di Sekolah, Apa Gizi Keluarga Sudah Dibenahi?

Keberhasilan Jepang dibanding negara maju lainnya – termasuk dunia Barat – adalah kemampuan memertahankan “local wisdom” alias kearifan lokal, sehingga anak-anak tetap makan ikan, makan sayur, makan buah, sekali pun industrinya sibuk bikin abon, furikake, dan aneka jus karton.

Ini semua dibentuk sejak dini hingga usia lanjut. Para orangtua paham: pentingnya membangun gizi yang baik dan benar di keluarga. Masak sederhana walaupun sibuk bekerja.

Setiap wilayah atau perfektur, ada kebanggaan kearifan lokal, yang justru menyedot turisme. Daging sapi Kobe. Aneka produk turunan susu Hokaido.

Saya juga masih ingat saat di Korea Selatan, ketika pulau Jeju panen jeruk – penduduk sana begitu fanatik bangga akan “jeruk Jeju”.

Juga saat panen hasil laut yang melimpah mewah, sebutlah abalone dan gurita – rakyat setempat ikut menikmati “panen raya”, bukan hanya dari sisi hasil berjualan, tapi juga kenikmatan nutrisi yang mendongkrak kesehatan.

Membangkitkan Martabat Bangsa dengan Rasa Percaya Diri

Indonesia tidak kurang, bahkan bisa dibilang terlalu berlebih kekayaan alamnya. Tapi penduduk lokalnya tidak makan. Tidak bangga.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com