Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pentingnya Paham Etika Budaya Saat Membuat Foto "Prewedding"

Konsep yang digunakan semakin kreatif, bahkan lokasi pengambilan foto pun saat ini semakin beragam.

Namun, karena memikirkan terlalu banyak detail untuk foto prewedding dan ingin tampak sempurna di foto, banyak orang melupakan hal penting dari unsur sebuah foto, yaitu etika.

KOMPAS Lifestyle sempat mewawancarai Fotografer senior Darwis Triadi beberapa waktu lalu mengenai tren foto prewedding di Indonesia.

Darwis menekankan pentingnya sebuah foto prewedding terlihat tak mudah ketinggalan zaman alias long lasting, hingga pentingnya memerhatikan etika budaya setempat.

Jadi, sebetulnya apa saja sih yang harus diperhatikan saat kita mau melakukan sesi foto prewedding?

Yuk, simak obrolan singkat berikut!

Tren prewedding tahun tahun ini kira-kira seperti apa?

“Sebetulnya kalau tren akan berulang, karena di dalam fotografi ada semacam daur ulang atau sekarang fotografi kekinian atau warna kekinian, dan akan berputar seputar itu.

Ketika bicara prewedding atau wedding photography sebetulnya formatnya tidak berubah dari dulu. Yang berubah tren dari sebuah komposisi saja.”

Secara umum, elemen apa yang memengaruhi sebuah foto prewedding estetis dan layak?

“Pertama, secara kultural. Karena setiap daerah punya kultur yang berbeda. Itu juga harus dipenuhi. Jangan sampai, misalnya seorang pengantin kebaya tradisional dengan gaya keraton tapi posenya modern. Enggak kena. Apalagi kalau menggunakan batik. Batik kan ada aturan kesakralannya.

Makanya Vera (Anggraini, Desainer Vera Kebaya) lagi buat buku kebaya dan saya yang potret. Itu banyak sekali perbedaan pada saat kita mencocokkan baju pengantin dengan batik keraton atau batik yang kita anggap sakral.

Terutama di Jawa Tengah. Apalagi lokasinya, misal di candi. Candi Prambanan sama Candi Ceto saja sudah beda. Candi Ceto lebih sakral. Kita enggak boleh macam-macam, beda dengan Prambanan.

Itu harus dipahami. Kekurangpahaman itu mengakibatkan efek yang kurang bagus nantinya.

Contoh lain, misal potret di Borobudur ada biksu lagi sembahyang tapi model preweddingnya di atas, jangan. Saya pernah lihat foto seperti itu.

Walaupun kelihatan secara komposisi fotografi menarik tapi secara etika tidak bagus. Ada pakemnya walaupun tidak bisa dipelajari dalam buku tapi kita seharusnya bisa belajar memahami situasi itu karena kita di Indonesia, beda dengan kita di luar (negeri).”

Sekarang banyak pengantin berhijab, bagaimana seharusnya foto prewedding wanita berhijab yang layak?

“Apalagi kalau bicara hijab, ya. Karena berhijab, banyak hal yang harus kita ikuti aturan formalnya. Pelukan enggak mungkin boleh. Bersatu dalam chemistry kan belum tentu harus pelukan. Berdekatan dengan ekspresi yang natural saja itu juga bagus.

Ada sebuah aturan yang tidak terlihat dalam kita menyampaikan visual prewedding. Kita harus melihat tata krama atau aturan, jelas kaitannya dengan hijab. Sebelum menikah kan enggak boleh terlalu akrab secara fisik. Fotonya tidak harus berjauhan. Tapi tidak dekat secara fisik kan belum tentu dia tidak akrab secara chemistry.”

“Prewedding adalah penyatuan chemistry. Jangan sampai foto prewedding hanya bisa digunakan pada saat kawinan saja. Kan bisa dipajang. Ya kalau orang yang kebanyakan duit enggak masalah foto dibuang karena rumah dia juga enggak bakal memajang itu.

Tapi kalau pasangan-pasangan yang sederhana mau enggak mau dia harus memikirkan foto itu agar bisa dipajang. Artinya, foto dia juga harus long lasting. Di situ harus kita pikirkan agar foto wedding bisa merepresentasikan mereka sampai kapanpun dan kalau dilihat akan selalu bagus.”

Jadi, apa saja kategori long lasting itu sendiri?

“Pertama, jelas mencoba untuk membuat komposisi couple yang bagus. Contoh, yang sering saya lihat ada foto laki-lakinya jongkok, ngasih kembang lalu perempuannya melirik ke atas. Kira-kira cocok enggak kalau nanti dipajang? Enggak, kan.

Masa laki-laki merengek ke perempuan, kan secara filosofis enggak bagus. Atau calon suaminya pakai perban, mungkin konsepnya perang. Terus ceweknya pakai kostum suster lag gendong (calon suaminya) yang seolah habis ditembak. Di belakangnya ada bedil-bedilan, pistol.

Saya pikir, saat dipajang setelah perkawinan kira-kira foto itu akan ada maknanya, enggak? Nanti kalau anaknya tanya, itu di mana. Akhirnya dia akan cerita yang enggak jelas dan ngarang. Lain jika foto berdua dengan memperlihatkan chemistry yang begitu kuat.

Berarti penting juga ya untuk memilih latar lokasi foto yang sesuai dengan keseharian?

“Jelas. Saya bukan fotografer prewedding, tapi kadang saya juga diminta. Saya selalu menyarankan agar membuat foto yang long lasting. Karena enggak mungkin foto itu dibuang setelah dipajang.”

Selain komposisi dan hal-hal tadi, apa lagi hal penting lainnya?

“Jelas komposisi penting dalam fotografi selain teknis mendasar. Berikutnya ada hal-hal yang sebetulnya kita bisa bilang bagus kalau foto tidak mempunyai suatu kesamaan atau mengikut. Contoh sederhana, ada sebuah foto di Gunung Bromo degan posisi yang sama, (hasilnya) bagus.

Orang berburu (angle) seperti itu. Yang terjadi, fotonya hampir sama semua. Misal di Bali ada air terjun, orang bikin (foto) di sana semua. Semua sama hasil fotonya meskipun bajunya berbeda. Itu yang enggak boleh dilakukan.

Karena seorang fotografer harus punya satu independensi dan sesuatu yang berbeda. Kalau kita hanya ikut yang bagus saja, jelas kita tidak bisa menjadi yang terbaik.”

https://lifestyle.kompas.com/read/2018/06/19/170000920/pentingnya-paham-etika-budaya-saat-membuat-foto-prewedding-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke