Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Penjelasan Sains soal Jasad Tenggelam yang Naik ke Permukaan Air

KOMPAS.com - Setelah pencarian selama 14 hari, anak sulung Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Emmeril Kahn Mumtadz alias Eril ditemukan.

Eril -demikian dia biasa disapa, dinyatakan hilang setelah hanyut saat berenang di sungai Aare, Kota Bern, Swiss pada Kamis, 26 Mei 2022 lalu.

Jasad Eril kemudian ditemukan pada Rabu (8/6/2022) di bendungan Engehalde, Bern pada pukul 06.50 waktu setempat setelah diidentifikasi dan penelusuran melalui tes DNA.

Penjelasan ilmiah jasad yang tenggelam naik ke permukaan

Pada sebuah kecelakaan di perairan yang menelan korban, umumnya korban yang telah meninggal akan tenggelam.

Kemudian dalam beberapa hari, jasad dapat mengambang dan naik ke permukaan. Hal ini pun sebenarnya bisa dijelaskan secara ilmiah.

Seseorang tidak akan tenggelam ketika masih hidup karena udara di paru-paru manusia secara alami bisa membuatnya mengapung.

Dalam hal ini, massa jenis tubuh kita berbeda dengan air laut (lain hal dengan air tawar), sehingga lebih mudah bagi seseorang untuk mengapung.

Ketika seseorang tenggelam, umumnya dia akan berusaha sebisa mungkin untuk berenang ke permukaan.

Akan tetapi, pada aktivitas ini seseorang dapat mengeluarkan udara dari paru-paru, dan memungkinkan paru-paru jadi terisi dengan air.

Hal ini yang bisanya menjadi penyebab kematian dan mayat tenggelam ke dasar. Penyebab kematian pun bisa diakibatkan karena kekurangan oksigen.

Jasad yang meninggal di dalam air akan melalui berbagai tahapan yang disebut pembusukan.

Dimulai dengan pallor mortis, diikuti algor mortis, rigor mortis dan livor mortis. Secara bertahap, tubuh terjadi penipisan oksigen, sel-sel mulai mati dan rusak yang mengakibatkan sejumlah perubahan fisik.

Termasuk di antaranya perubahan pH, warna kulit dan tubuh yang semakin kaku.

Setelah tahap tersebut, yang terjadi dalam 24-48 jam pertama setelah kematian adalah tubuh mengalami pembusukan.

Ini adalah tahap yang mana terjadi penguraian eksternal yang mulai memecah beberapa jaringan.

Jasad mengapung karena terjadi penumpukan gas akibat dekomposisi di dalam tubuh, karena tubuh manusia terdapat jutaaan mikroorganisme, terutama bakteri.

Bakteri memang dikenal sebagai penyebab penyakit, tapi tidak semuanya buruk bagi tubuh. Karena ada sistem kekebatan tubuh yang bekerja selagi kita masih hidup dengan memeriksa kondisi tubuh, melawan bakteri dan mencegahnya menginfeksi kita.

Namun pada orang yang sudah meninggal, sistem kekebalan tubuh sudah non-aktif. Bakteri baik ini justru mulai menginfeksi tubuh dan menggerogoti sejumlah jaringan.

Inilah yang dinamakan fase atau serangkaian proses fisik, kimia dan biologis yang pada akhirnya menyatu dengan tanah ketika dimakamkan.

Kemudian di fase ini, aktivitas metabolisme tersebut menghasilkan gas seperti karbon dioksida, amonia dan metana.

Ketika dekomposisi berlangsung, gas-gas ini menumpuk di dalam tubuh. Namun karena gas tersebut terjebak dan tidak dapat keluar, perut mulai mengembung.

Perut kembung inilah yang membuat jasad mengapung ke permukaan air. Volume tubuh secara signifikan dapat meningkat, akan tetapi tidak dengan berat badan.

Kondisi alamiah itu memudahkan tubuh mengapung di permukaan. Sementara sebagian besar jasad mengambang menghadap ke bawah.

Hal ini disebabkan karena usus dan rongga dada manusia memiliki bakteri paling banyak. Kembung akan paling banyak terjadi di sana.

Berdasarkan anatomi tubuh manusia, anggota tubuh dan kepala cenderung jatuh atau membungkuk ke depan, bukan ke belakang.

Sehingga dalam sudut pandang science, jasad di air tampaknya secara alami mengorientasikan diri dalam posisi telungkup.

Ketika jasad muncul kembali, seringkali tubuh jadi membengkak dan menjadi sulit untuk dikenali. Untuk itu diperlukan proses identifikasi lebih lanjut.

Terkait dengan lamanya proses mengapung, sulit menentukan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk jasad mengapung ke permukaan.

Jenis air (air tawar atau air laut), kondisi dasar dan suhu adalah beberapa faktor yang memengaruhi tingkat dekomposisi dan waktu jasad mengambang.

Pada umumnya, jasad yang mengambang bisa menjadi indikator waktu kematian dalam investigasi kriminal dan forensik.

Pasalnya, sangat penting untuk mengetahui prakiraan waktu kematian atau post-mortem interval (PMI).

Ini dapat membantu penyidik kapan suatu kejahatan yang mungkin terjadi sehingga memperudah dalam penyelidikan.

Hal tersebut juga membantu menjelaskan kondisi yang mungkin dialami jasad sebelum atau sesudah kematian.

Di samping itu, ahli ekologi dan ahli biologi kelautan menggunakan beberapa indikator ketika mempelajari faktor-faktor yang dapat menyebabkan kematian hewan air dan peran dekomposisi dalam rantai makanan akuatik.

Ini mungkin juga membantu mereka memahami apakah suatu penyakit atau bencana alam tertentu mungkin bertanggung jawab atas kematian yang tidak biasa dari kehidupan laut mana pun.

Sementara bagi ahli paleontologi, dekomposisi dan kembung yang dihasilkan sering dapat ditemukan dalam fosil.

Bagaimana hewan mati dan membusuk dapat memberikan banyak indikasi tentang pengalaman hidupnya di Bumi.

Fosil Ichthyosaurus tetrapoda (hewan berkaki empat) misalnya yang ditemukan dengan tulang rusuk patah dan fosil embrio di sampingnya.

Banyak ahli paleontologi menyimpulkan bahwa Ichthyosaurus telah mengalami kembung dan gas terpaksa keluar sehingga menyebabkan kerangka keluar, yang menyebabkan embrio berada di sampingnya.

https://lifestyle.kompas.com/read/2022/06/10/104913120/penjelasan-sains-soal-jasad-tenggelam-yang-naik-ke-permukaan-air

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke