Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

"Rame Ing Gawe, Sepi Ing Pamrih"

Kompas.com - 10/07/2017, 20:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

Yang bertanya kian penasaran, ”Lalu siapa yang nomor dua pintar?” Sang sinshe menjawab dengan suara berat,” Kakak di atas saya. Dia bisa tahu orang bakal sakit dan mencegahnya agar tidak sampai jatuh sakit, tapi dia pun tidak dikenal banyak orang.”

Yang bertanya langsung protes, ”Apakah kau sebagai sinshe terkenal mengatakan diri bodoh?” Sinshe terkenal tersebut berkata pelan diplomatis, ”Aku menjadi terkenal, karena justru orang yang sakit berobat lalu sembuh”.

Tidak ada yang mengatakan salah (apalagi tidak pintar) untuk menjadi terkenal, karena mengobati orang yang sakit hingga sembuh.

Sangat fenomal bahkan instagramable untuk melihat metamorfosis orang yang terkulai sakit bisa naik kuda dengan gagah lagi.

Imbalan untuk kemampuan hebat itu pun mengalir bak rejeki tumpah ruah. Bahkan ada yang menetapkan tarif yang fantastis.

Bukan lagi sekadar ungkapan wujud syukur dari yang ditolong. Hingga belakangan ini ada istilah,”Jadi orang miskin, enggak boleh sakit.” – itu karena saking mahalnya biaya berobat.

Mencegah, merawat, memang bukan pekerjaan favorit. Jauh dari kata ‘nge-fans’. Bahkan ritual yang menjemukan itu kerap disebut menghabiskan waktu (karenanya banyak yang membuat jalan pintas).

Padahal, alam semesta menganyam hidup semua makhluk dengan ritual – yang tak pernah berubah.

Matahari terbit di timur, tenggelam di barat. Satu hari setara dengan 24 jam. Seminggu itu lamanya 7 hari, dan seterusnya.

Nah, jika birokrasi bisa dipangkas, teknologi memungkinkan perjalanan dipercepat, komunikasi dipermudah dengan layar bicara, mencuci pun digantikan mesin, lalu mengapa masih ada orang yang bilang tidak punya waktu memasak? Tidak punya waktu berjemur? Tidak punya waktu menyusui? Tidak punya waktu olah raga? Tidak punya waktu bercanda dengan belahan hidup? Tidak punya waktu membaca buku bagus?

Layanan antar makanan cepat saji faktanya hanya untuk mengisi perut dengan kedoyanan lidah, bukan mencegah tubuh dari penyakit.

Tablet vitamin hanya untuk iming-iming nurani, seakan sudah menambah ‘daya tahan’, dot susu hanya untuk membuat si kecil merasa aman semu.

Padahal, kita hidup hanya sekali. Ada hal-hal yang sudah terlewatkan tak mungkin kembali. Termasuk setia terhadap hal-hal kecil, ribet dan rutin di mana pamrih tak bisa dituai – tapi dari situ justru hidup memberi makna yang amat besar. Hal-hal pintar yang tidak terkenal. Non instagramable.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com