Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Brigitta Valencia Bellion
KOMPAS.com - Pikiran negatif terhadap diri sendiri adalah hambatan utama dalam memulai produktivitas. Terlebih jika pemikiran ini telah berlangsung sejak lama karena terdapat salah satu faktor yang menyebabkan perasaan traumatis.
Dalam siniar Obsesif episode “Attitude Lebih Penting daripada Skills” dengan tautan akses dik.si/ObsesifAndreas2, disebutkan isu ini sebagai mental block issue. Hal ini pun sering kali menghambat pengembangan diri ke depannya.
Mental block issue merupakan hambatan seseorang untuk mencapai tujuannya. Pasalnya, hal ini disebabkan oleh faktor internal yang berpikir bahwa kita tak mampu. Andreas pun menjelaskan penyebab utamanya karena pengalaman traumatis masa lalu.
Misalnya, saat mencoba menjawab dan salah, kita diolok-olok oleh orang lain sehingga kepercayaan terhadap kemampuan diri pun menurun. Bisa juga isu ini timbul karena keluarga kerap melarang kita untuk melakukan sesuatu.
Baca juga: Butterfly Hug Metode Ampuh untuk Atasi Cemas
Hal ini pun akhirnya membentuk kita sebagai pribadi yang mengikuti arus. Padahal, menurut Andreas, “Tapi, kan sebenernya air itu jatuhnya ke bawah, ya? Dan kalau lagi capek atau lelah itu kita sebenernya sedang menuju ke atas.”
Memiliki mental block issue membuat kita jadi pribadi yang terperangkap dalam perasaan trauma tersebut dan enggan mencoba hal baru. Padahal, kesalahan merupakan salah satu tantangan untuk membuat diri menjadi pribadi yang lebih baik.
Justru, perasaan malu yang berlebihan bisa menghilangkan kesempatan kita untuk meningkatkan kemampuan diri. Andreas pun menekankan, “Kita banyak hilangnya, ya, kan? Daripada malunya.”
Untuk menghilangkan mental block issue, kita harus mengubah pola pikir. Daripada memiliki kekhawatiran soal kegagalan, ubahlah kekhawatiran itu jadi keberhasilan. Misalnya, saat melakukan sesuatu tanamkan “Bagaimana kalau ini ternyata berhasil?”.
Namun, sebelumnya kita perlu mengidentifikasi apa yang menjadi faktor penyebab mental block issue ini. Andreas pun memberikan contoh untuk mengidentifikasinya, misalnya dengan kalimat “Saya tidak berani public speaking karena _____”.
Nantinya, ruang kosong itu adalah alasan mengapa kita enggan melakukannya. Tulislah alasan beserta penyebabnya. Kemudian, identifikasi dan carilah cara untuk mengubahnya.
Andreas pun memberikan penjelasan kalau banyak orang sudah memiliki asosiasi yang keliru saat mencoba hal baru. Mereka justru berpikir melakukan hal positif bisa membuat kita sengsara, sementara melakukan hal negatif justru memberikan kenikmatan.
Baca juga: Anger Management, Mengendalikan Emosi saat Puasa
Misalnya, para perokok akan menganggap rokok sebagai kenikmatan padahal ada banyak bahaya medis yang mengintai. Saat berhenti merokok, mereka merasa sengsara karena telah kecanduan terhadap kebiasaan buruk itu.
Itu sebabnya, perlu juga mengajak diri kita untuk berefleksi efek jangka panjangnya jika terus berada di posisi ini. Jika saat diidentifikasi lebih banyak hal negatif, artinya kita perlu berubah ke arah yang lebih baik.
Lantas, bagaimana cara lainnya untuk menghilangkan isu ini? Dengarkan jawaban lengkapnya dalam siniar Obsesif episode “Attitude Lebih Penting daripada Skills” dengan tautan akses dik.si/ObsesifAndreas2 di Spotify.
Tak hanya itu, di sana, ada pula beragam informasi menarik seputar dunia kerja untuk para fresh graduate dan job seeker. Jadi, akses sekarang juga siniar dan playlist-nya di YouTube Medio by KG Media agar kamu tak terlewat tiap episodenya.
Ikuti juga siniarnya agar kalian tak tertinggal tiap ada episode terbarunya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.