Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Mengembalikan Rasa Percaya Diri Menuju Kemandirian Pangan

Kompas.com - 20/06/2024, 20:42 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tulisan ini dibuat pada ketinggian 11887 meter di atas permukaan laut, penerbangan kembali dari Tokyo menuju tanah air.

Untuk ke sekian kalinya saya berusaha memahami, bagaimana negeri yang luluh lantak pasca bom Hiroshima-Nagasaki dalam waktu singkat menyeruak jadi negara maju, yang sekaligus umur harapan hidup warganya menduduki ranking teratas di dunia, yakni 84-85 tahun.

Masih juga teringat anekdot sarkasme soal “tentara kate” alias pendek, yang ditujukan pada prajurit Jepang saat perang dunia ke dua.

Baca juga: Mengharapkan Generasi Z Melawan Pembodohan Kesehatan

Sebutlah postur kate atau pendek itu bagian dari cermin stunting di masa tersebut, karena kemiskinan dan dampak perang -- sebagaimana yang pernah kita tonton dalam film “Oshin”.

Cermin kehidupan sesungguhnya masyarakat Jepang yang oleh sebagain besar orang kita hanya dipahami sebatas tayangan hiburan atau ledekan hidup susah saat pembantu pulang kampung.

Tak kalah mengejutkan, saat saya melihat poster peringatan 60 tahun shinkansen melayani transportasi rakyat Jepang. Artinya, sejak tahun 1964 industri kereta super cepat itu sudah berdiri, hampir 20 tahun pasca perang.

Begitu cepatnya fase pemulihan, pertumbuhan, dan perkembangan teknologi di negeri tirai bambu ini.

Petani dan Nelayan Tanpa Literasi

Tak elak, pikiran membandingkan dengan kondisi kita di tanah air setelah 78 tahun Merdeka, tentunya muncul.

Dan saya masih menenangkan diri, mengandaikan kondisi kita berbeda dengan mereka.

Selain rakyatnya jauh lebih banyak dan jauh “lebih sulit” diatur, perbedaan budaya, juga bentangan Nusantara, tidak dapat disamakan dengan kepulauan Jepang yang hanya sepersekian luas negri kita.

Tapi tetap saja pikiran gemas “gregetan” bersliweran, sebab kisah-kisah korupsi kita semakin berani, bahkan melibatkan jejaring kroni.

Sementara petani dan nelayan selama 78 tahun masih belum berdiri berdikari, bahkan kemakmurannya digerogoti kartel dan segelintir manusia pemburu cuan, di tengah ketidakpastian nasib produsen ketahanan pangan nasional.

Padahal, di setiap debat kampanye pimpinan negeri maupun kepala daerah, petani dan nelayan selalu dijadikan tokoh sentral tempat janji-janji manis diumbar. Habis itu apa?

Literasi dan teknologi sama sekali bagai benda asing di mata petani dan nelayan – bahkan rasa bangga atas pekerjaan tidak ada dalam diri mereka.

Anak-anaknya disuruh “sekolah tinggi” (bukan di bidang pertanian dan kelautan, tentunya) agar bisa bekerja di kota, sekalipun harus makan gaji jadi pegawai rendahan. Dengan tekad, supaya “tidak hidup susah” seperti orangtuanya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com