KOMPAS.com - Sebagian besar tujuan hidup seperti membeli rumah, menikah, atau liburan ke destinasi impian, dapat dilakukan jika kita mempunyai fondasi finansial yang kuat.
Sayangnya, kebanyakan orang tak kuat menahan godaan belanja. Semakin besar penghasilan, makin besar pula pengeluarannya.
Karena merasa penghasilan lebih besar, kita pun ingin mencoba semua hal yang selama ini kita inginkan. Beli gadget terbaru, makan di luar setiap minggu, atau ingin pindah ke apartemen le
Pada akhirnya kita mengeluarkan banyak uang. Gaya hidup baru ini terasa menyenangkan dan penting sehingga tanpa sadar pos pengeluaran untuk biaya gaya hidup menjadi bengkak.
Kondisi ini bisa disebut inflasi gaya hidup, yang jika tidak segera diubah bisa menggagalkan perencanaan keuangan untuk masa depan.
Baca juga: 5 Strategi Mengatur Keuangan Hadapi Tantangan Ekonomi di Masa Pandemi
Definisi inflasi gaya hidup
Lifestyle creep atau juga disebut inflasi gaya hidup adalah kondisi di mana biaya hidup dan pengeluaran non-esensial tumbuh seiring meningkatnya pendapatan.
Inflasi gaya hidup dapat membuat aktivitas atau barang tertentu tampak mewah ketika kita masih memiliki pendapatan atau standar hidup yang lebih rendah.
Sederhananya, gaya hidup dan standar hidup seseorang naik ke tingkat yang sulit dipertahankan.
Dalam kasus gaya hidup yang buruk, pengeluaran yang tidak perlu ini bisa membuat tabungan terkuras.
Baca juga: Tahun Baru, Saatnya Perbaiki Cara Atur Keuangan
"Tanda dari gaya hidup yang buruk adalah refleksi mental, 'bagaimana saya bisa berhasil dengan lebih sedikit?'"
Begitu kata Katie Waters, perencana keuangan bersertifikat di Stable Waters Financial.
"Kami menemukan bahwa klien sering menyangkal tentang gaya hidup mereka yang berlebihan dan mengubah definisi moderasi mereka saat pendapatan meningkat."
Menurut Waters, dia sering melihat klien yang bertekad mengambil liburan ke luar negeri, memperbaiki rumah, dan membeli mobil baru, dan mereka menyebutnya sebagai sesuatu yang harus dimiliki seolah uangnya tak ada batas.