KOMPAS.com - Ada kalanya kita dihadapkan pada situasi traumatis yang mengguncang emosi. Kita kemudian merasa bingung, terkejut, waspada dan berbagai emosi tak terduga lainnya.
Emosi yang dirasakan itu sebenarnya adalah respon yang normal dari otak kita.
Kondisi ini adalah sesuatu yang wajar dan dapat ditangani melalui cara-cara yang tepat. Bahkan, kita dianjurkan tahu cara menangani perubahan emosi yang dirasakan utuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan.
Fuye Ongko, Associate Psychologist di Yayasan Pulih mengatakan setiap manusia memiliki ambang batas toleransi yakni ketika kondisi beban psikologis yang dialami masih mampu diatasi.
Baca juga: 3 Cara Menerima dan Mengatasi Trauma Masa Lalu
Meskipun terkadang muncul perasaan cemas atau stres, ada beberapa individu yang dapat mengelolanya dengan baik. Di sisi lain, orang yang melebihi batasan tanpa mampu mengelolanya bisa memunculkan reaksi yang kurang sehat.
"Reaksi yang muncul seperti hyperarousal dan hypoarousal," terangnya saat webinar bertema Kekerasan Seksual: Perspektif Klinis dan Hukum serta Bagaimana Penanganannya pada Selasa (29/06/2021).
Hyperarousa terjadi ketika beban emosional berlebihan sehingga otak memunculkan reaksi aktif seperti perilaku agresif, kecemasan berlebihan dan reaksi cepat untuk melarikan diri.
Sedangkan, hypoarousal merupakan kondisi serupa namun dengan reaksi pasif seperti melamun, menarik diri, dan tidak mau berinteraksi dengan orang lain.
Baca juga: Membentuk Resiliensi untuk Mengurangi Kecemasan
Jika mengalaminya, Fuye menyarankan kita untuk melakukan kegiatan stabilisasi emosi. Tujuannya, agar kita terbantu untuk kembali pada respon adaptif dalam ambang batas tolerasi yang dimiliki.
Selain itu, kegiatan ini juga dapat membantu individu untuk membentuk Ambang Batas Toleransi yang lebih baik.
Setiap orang memiliki coping mechanism yang berbeda ketika sedang merasa marah, sedih atau gundah. Bentuknya bisa berbeda-beda sesuai dengan kesukaan atau kecenderungan tiap individu.
Salah satu cara yang telah dibuktikan efektif dan berguna oleh dunia kesehatan untuk stabilisasi emosi adalah butterfly hug.
Baca juga: Manfaat Pelukan untuk Kualitas Hidup
Gerakan memeluk diri sendiri yang sempat booming di Indonesia karena K-drama, It's Okay to Not be Okay ini ternyata bukan isapan jempol belaka.
Fuye menjelaskan, gerakan mendekapkan tangan dengan mengaitkan ibu jari sehingga berbentuk sayap kupu-kupu ini sarat makna dan manfaat.
"Meningkatkan kadar oksigen dalam darah sehingga proses berpikir dapat dilakukan dengan lebih tenang," tambahnya.