Oleh: Frangky Selamat*
KIPRAH Shin Tae-yong, pelatih tim nasional sepakbola Indonesia dipertanyakan karena hanya sanggup membawa Indonesia menjadi runner-up piala AFF dan medali perunggu SEA Games ke-31 Hanoi yang lalu. Shin dianggap gagal dan tidak memenuhi target PSSI: juara.
Segelintir netizen menyerukan Shin untuk mundur, sementara PSSI menyatakan posisi Shin aman karena sasaran utama adalah Piala Dunia U-20 yang akan berlangsung pada 2023 di Indonesia.
Di cabang lain, tim bola basket Indonesia mencatat sejarah dengan meraih emas sekaligus mematahkan dominasi Filipina di SEA Games selama 31 tahun.
Publik pecinta basket menyambutnya dengan gegap gempita. Bangga.
Kedua tim sesungguhnya punya kesamaan. Timnas sepakbola dan bola basket Indonesia menggunakan jasa pemain naturalisasi, walau beda hasil yang diperoleh.
Di cabang bulutangkis, pasangan ganda putra dan putri Indonesia, walaupun dengan pemain lapis kedua masih sanggup meraih emas.
Lain halnya dengan nomor lain di tunggal putra, putri, dan campuran yang masih paceklik prestasi.
Keberhasilan dan kegagalan, menang atau kalah adalah biasa dalam dunia olah raga. Semua adalah buah dari pembinaan.
Menghasilkan juara adalah sebuah proses panjang. Tidak sekejap dan tidak mungkin diraih tanpa mengeluarkan setetes keringat pun, bahkan air mata.
Proses dimulai dengan pencarian bakat-bakat baru dan muda melalui kompetisi pada berbagai tingkat umur dan berkelanjutan.
Juga tidak bisa diabaikan dukungan fasilitas dan jaminan masa depan dari induk organisasi olahraga agar atlet bisa fokus menjalankan tugas negara.
Publik yang tidak sabar tentu menginginkan prestasi diraih secepat mungkin tanpa mau tahu proses yang mesti dijalani.
Padahal menjalankan proses membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan konsistensi. Mereka yang tidak memahami atau tidak mau tahu, mungkin akan mengatakan tidak peduli proses tetapi hasil.
Tetapi bagaimana mungkin dapat berhasil jika tidak berproses?