Oleh: Alifia Putri Yudanti & Ristiana D Putri
SETIAP hari, kita menghadapi berbagai emosi, baik negatif maupun positif. Emosi-emosi itu datang silih berganti.
Akan tetapi, bagi sebagian orang, emosi negatif adalah salah satu momok menakutkan. Emosi negatif sering kali dilekatkan sebagai “musuh” bagi diri.
Akhirnya, banyak orang yang enggan untuk menerima perasaan itu sehingga kehadirannya tak divalidasi.
Padahal, marah, emosi, sedih, dan kecewa juga merupakan bagian dari perjalanan hidup. Kita tak bisa terus-terusan memaksa diri untuk memunculkan perasaan positif.
Menunjukkan emosi positif secara terus-menerus dapat membuat diri tenggelam ke dalam toxic positivity.
Nantinya, emosi positif bisa menutupi emosi negatif karena pola pikir kita telah menetapkan bahwa bersedih itu tanda kelemahan.
Faktanya, emosi itu muncul karena sebagai bentuk reaksi dari keadaan yang menimpa kita. Jadi, mengeluarkan emosi sesuai kondisi adalah suatu hal yang wajar.
Melansir dari Scientific American, penelitian menunjukkan bahwa menerima emosi negatif sangat penting untuk kesehatan mental.
“Mengakui kekompleksitasan hidup mungkin merupakan jalan yang sangat bermanfaat untuk kesejahteraan psikologis,” ucap Jonathan M. Adler, seorang psikolog dari Franklin W. Olin College of Engineering.
Selain penting untuk kesehatan mental, memvalidasi emosi negatif juga memiliki manfaat lainnya. Lantas, apa saja manfaat itu?
Dengan mengakui emosi negatif, kita bisa mengeluarkan segala keresahan yang ada dalam diri.
Misalnya, saat kecewa terhadap suatu hal, ungkapkanlah dengan menangis. Dari situ, perasaan akan divalidasi sehingga perlahan bisa menerima keadaan yang telah berlalu.
Memberikan kesempatan untuk merasakan emosi negatif juga dapat meningkatkan mood yang positif.
Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan Bylsma dkk. (2011) bahwa 30 persen orang yang melakukan sesi menangis selama 40?73 hari mengalami perubahan emosi positif.