Biasanya, setelah meluapkan emosi negatif, perasaan lega akan muncul karena telah mengeluarkan beban yang selama ini dipikul sendirian.
Apabila tak ingin menangis, kita juga bisa mencurahkannya lewat kegiatan journaling atau berbicara dengan diri sendiri di depan kaca.
Perasaan negatif, seperti sedih, merasa gagal, dan kecewa dapat meningkatkan produktivitas karena ia membantu kita sadar akan kesalahan.
Artinya, melalui perasaan itu, tubuh memberi sinyal bahwa harus ada sesuatu yang diubah. Dengan mengakui keberadaannya, berarti kita peduli terhadap kelemahan diri.
Setelah berhasil mengeluarkan emosi negatif, kita akan merasa tenang dan lega. Perasaan itulah yang akan meningkatkan semangat karena telah berhasil melepas beban.
Dari situ, kita akan berusaha untuk menjadi sosok yang lebih baik lagi. Bahkan, tak menutup kemungkinan usaha itu dapat membawa kesuksesan di kemudian hari.
Ketika hanya mengedepankan emosi positif, kita bisa saja salah menilai orang lain. Pemikiran pun akan menjadi bias.
Ketika ada teman yang ingin curhat soal masalah hidupnya, tanggapan yang diberikan justru tak bijak dan cenderung mengarah ke toxic positivity.
Orang itu diminta untuk terus bersyukur dan menjalani hidup dengan semangat.
Padahal, kita tak tahu seberapa besar beban masalah yang sedang ia tanggung. Namun, dengan pemikiran bias, permasalahan akan dilihat hanya dari dasar saja.
Respons ini tentu akan berbeda jika diri sendiri lebih dulu bisa memahami emosi negatif.
Emosi negatif ini akan melatih diri kita untuk berempati terhadap masalah orang lain. Apabila mereka sedang berada dalam masa-masa sulit dan menangis, itu adalah hal yang wajar.
Jadi, daripada memberikan nasihat yang tidak tepat, kita akan lebih senang menjadi pendengar untuknya.
Keberagaman emosi yang dapat dirasakan ternyata bisa membuat hidup kita lebih bermakna.
Dengan perasaan takut, muncul perasaan khawatir apabila kehilangan orang-orang yang disayang.