KOMPAS.com - Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah momok bagi laki-laki maupun perempuan yang menjalin hubungan pernikahan.
Sayangnya, praktik KDRT masih sangat banyak kita jumpai di kehidupan sehari-hari, seperti kasus dr. Qory yang ramai jadi perhatian warganet sekarang.
Baca juga: Masih Sayang, Dokter Qory Ingin Cabut Laporan KDRT yang Dilakukan Suaminya
Korban KDRT seringkali sulit melepaskan diri dari hubungan toxic itu karena ikatan pernikahan yang sudah terjalin.
Selain itu, masih ada stigma yang menempel, baik pada laki-laki maupun perempuan, bahwa KDRT adalah aib rumah tangga yang harusnya ditutupi.
PBB mendefinisikan KDRT sebagai pola perilaku dalam hubungan apa pun yang digunakan untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan dan kendali atas pasangan.
KDRT bisa berupa fisik, seksual, emosional, ekonomi atau psikologis atau ancaman tindakan yang mempengaruhi orang lain.
Seseorang bisa dikatakan melakukan KDRT ketika tindakannya menakut-nakuti, mengintimidasi, meneror, memanipulasi, menyakiti, mempermalukan, menyalahkan, melukai, atau melukai pasangannya.
Baca juga: Pentingnya Kenali Indikasi Perilaku KDRT Sejak Pacaran
Meskipun lebih dominan dialami perempuan, kekerasan dalam hubungan ini juga bisa dialami oleh laki-laki.
Terlepas istilahnya, kekerasan serupa juga bisa terjadi dalam berbagai tahapan hubungan termasuk pacaran atau tunangan.
KDRT, atau dikenal dengan nama kekerasan domestik, bisa dialami oleh semua orang dengan berbagai latar belakang sosial ekonomi, budaya dan tingkat pendidikan.
KDRT seringkali menjadi jaring yang menjerat korbannya sehingga sulit melepaskan diri dari hubungan tersebut.
Dibandingkan jenis kekerasan lainnya, berbagai kasus KDRT biasanya memang lebih kompleks karena melibatkan banyak faktor.
Baca juga: Anak Korban KDRT Cenderung Tumbuh sebagai Pelaku KDRT, Benarkah?
Hal ini tak lepas dari adanya empat fase KDRT yang umumnya dialami korban yakni:
Fase pertama, ketegangan atau tension, terjadi karena stresor eksternal yang mulai menumpuk di dalam diri pelaku.
Stresor eksternal ini bisa mencakup masalah keuangan, stres pekerjaan, atau sekadar kelelahan.
Kondisi ini membuat rasa frustasi pelaku KDRT meningkat seiring waktu dan semakin bertambah marah ketika merasa kehilangan kendali.
Baca juga: Dokter Qory Sedang Hamil 6 Bulan Saat Dianiaya Suami
Umumnya, korban KDRT akan mencoba untuk meredakan ketegangan tersebut untuk mencegah kekerasan yang bakal dialaminya.
Selama waktu ini, biasanya orang yang berisiko dilecehkan merasa cemas dan waspada sambil berharap tidak membuat pasangannya marah.
Pelaku KDRT cenderung merasa perlu melepaskan ketegangan yang dirasakannya, demi memiliki kuasa dan kendali lagi.
Demi tujuan itu, mereka akan mulai berperilaku kasar seperti:
Pelaku KDRT juga akan mengalihkan kesalahan atas perilakunya kepada pasangannya.
Contohnya, menyalahkan perilaku korban yang memicu amarahnya sehingga melakukan kekerasan.
Baca juga: Apakah Pelaku KDRT Layak Dimaafkan?
Fase ketiga KDRT berupa rekonsiliasi biasanya terjadi beberapa waktu setelah insiden dan ketegangan mulai berkurang.
Pelaku KDRT akan mulai memperbaiki keadaan dengan menawarkan hadiah, bersikap terlalu baik, atau merayu dengan penuh kasih sayang.
Periode rekonsiliasi sering disebut sebagai "tahap bulan madu" karena meniru awal hubungan ketika pasangan berada pada perilaku terbaiknya.
Baca juga: Kenali Bentuk Baru KDRT Lewat Gadget dan Media Sosial
Pasa fase ini, korban KDRT mendapatkan curahan kasih sayang dan kebaikan ekstra sehingga memicu reaksi otak yang melepaskan hormon dopamin dan oksitosin.
Kedua hormon ini memunculkan perasaan positif dan kasih sayang sehingga korban akan merasa lebih dekat dengan pasangannya dan seolah-olah semuanya kembali normal.
Selama fase tenang, akan muncul pembenaran dan penjelasan sehingga kekerasan domestik yang dilakukan termaafkan.
Misalnya ketika pelaku KDRT mengaku menyesal melakukannya dan menyalahkan faktor di luar hubungan termasuk stres pekerjaan dan finansial.
Baca juga: Pasanganmu KDRT? Lakukan Hal Ini
Selain itu, mereka akan menunjukkan penyesalan dan berjanji tidak akan melakukan KDRT lagi.
Karena sifatnya yang meyakinkan, korban KDRT cenderung percaya bahwa insiden itu tidak seburuk yang dikira sehingga kemudian memaafkan pasangannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.