Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benarkah Quiet Quitting Baik untuk Kesehatan Mental? Ini Pendapat Ahli

Kompas.com - 02/09/2022, 09:38 WIB
Sekar Langit Nariswari

Penulis

Sumber Healthline

KOMPAS.com - Fenomena quiet quitting dianggap sebagai upaya untuk menciptakan work life balance.

Sejumlah orang berusaha membuat batas yang tegas antara kehidupan pribadi dan profesional dengan perilaku kerja seperlunya ini. 

Hal ini dilakukan dengan cara pulang tepat waktu, selalu istirahat makan siang, dan menolak lembur ataupun pekerjaan yang sebenarnya tidak berada dalam tanggung jawab profesi kita.

Quiet quitting menjadi bentuk perlawanan pada hustle culture, yakni budaya kerja keras tanpa lelah demi mengejar kesuksesan.

Baca juga: Quiet Quitting: Fenomena Kerja Seperlunya yang Melanda Anak Muda

Pengaruh quiet quitting pada kesehatan mental

Para pelaku quiet quitting berdalih hal ini dilakukan demi menjaga kesehatan mentalnya agar tidak stres karena pekerjaan.

Selain itu, mereka juga bisa meluangkan waktu dan perhatian untuk banyak hal lainnya termasuk keluarga dan hobinya.

Psikolog dan konsultan kesejahteraan, Lee Chambers, menilai quiet quitting sering kali merupakan mekanisme koping yang digunakan untuk mengatasi kemungkinan kelelahan dan kerja berlebihan yang kronis.

“Itu juga dapat terwujud ketika upaya yang cukup besar dalam suatu peran tidak dihargai dan diapresiasi, dan kurangnya pengakuan mengubah perilaku karyawan untuk melepaskan diri dari peran mereka,” tambahnya.

Ia setuju quiet quitting memberikan banyak manfaat untuk kita, khususnya untuk membiasakan diri menerapkan batasan pribadi.

Baca juga: Ini Tandanya jika Kita Sebenarnya Berperilaku Quiet Quitting di Kantor

Meski tidak fokus soal fenomena baru ini, menurutnya, sudah ada penelitian yang membuktikan jika memberi batasan soal pekerjaan akan meningkatkan kesejahteraan pekerja dan melindungi dari kelelahan.

Misalnya penelitian tahun 2021 yang membahas bagaimana petugas kesehatan dapat mengelola kelelahan selama pandemi Covid-19 dengan menerapkan batasan pekerjaannya.

“Quiet quitting memiliki potensi untuk meningkatkan pengaturan batas, serta membantu orang menjauh dari produktivitas beracun,” kata Chambers.

Perilaku ini mengajari kita untuk mengambil kendali atas waktu istirahat, pengembangan diri, dan memberi ruang guna merefleksikan kesejahteraan dalam hidup kita.

Seorang pria mendengarkan musik sata di kantor Seorang pria mendengarkan musik sata di kantor
Tania Taylor, psikoterapis, juga setuju jika quiet quitting dapat memastikan kehidupan rumah dan pekerjaan kita tidak menyatu menjadi satu,

"Sambil mengakui bahwa Anda lebih dari yang dapat diberdayakan oleh jabatan Anda," katanya.

Baca juga: Waktu Habis Cuma untuk Kerja? Ini 7 Tips Ciptakan Work-Life Balance

Quiet quitting juga memberikan lebih banyak waktu untuk kegiatan yang lebih memberikan semangat baru misalnya bersosialisasi.

“Waktu berkualitas yang dihabiskan secara positif dengan teman dan keluarga adalah bahan utama untuk meningkatkan kesejahteraan mental kita,” kata Taylor.

Ironisnya, perilaku kerja seperlunya di kantor ini juga bisa meningkatkan produktivitas kita.

Sebabnya, kita berusaha memastikan untuk tetap dapat memiliki waktu beristirahat sehingga berupaya meningkatkan efektivitas ketika di kantor.

Namun, manfaat lainnya adalah quiet quitting memberikan otak kesempatan untuk memproses peristiwa hari itu.

"Dapat membantu Anda memecahkan masalah dari perspektif yang berbeda," pungkasnya.

Baca juga: Kenali Hustle Culture, Gila Kerja yang Bisa Berujung Kematian

Dampak buruk quiet quitting

Hal yang juga perlu dipertimbangkan, quiet quitting bisa membahayakan posisi kita di kantor sehingga berisiko kehilangan pekerjaan.

Chambers mengatakan, perilaku ini juga memiliki efek yang merugikan pada kepuasan pribadi yang biasa kitarasakan.

"Quiet quitting kemungkinan akan menurunkan rasa keterlibatan, tujuan, dan kepuasan kita, yang merupakan faktor dalam kesejahteraan mental dan fisik kita," jelasnya.

Hal ini membuat kita merasa pekerjaan yang dijalani tidak bermakna, tidak berguna, dan membosankan.

Baca juga: Atasan Memberi Pekerjaan di Luar Jobdesk? Begini Cara Menolaknya

Taylor menambahkan, riset membuktikan jika kurang termotivasi dan kurang terlibat dalam pekerjaan dapat mengakibatkan tingkat depresi yang lebih tinggi di antara karyawan.

Efektivitas quiet quitting untuk kesehatan mental juga bergantung pada individu masing-masing.

Bagi yang berambisi mendapatkan karier cemerlang atau senang melampaui rekan kerjanya, hal ini tidak memberikan dampak baik.

Namun, untuk sebagian lainnya yang menganggap pekerjaannya hanya sebagai 'sumber nafkah' maka status quo ini adalah solusi yang terbaik.

Baca juga: Segera Resign! Ini Tanda-tanda Kita Harus Mencari Pekerjaan Baru

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com