Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

7 dari 10 Ibu di Indonesia Alami Mom-Shaming, Pelaku Sering dari Keluarga

Kompas.com - 02/07/2024, 07:05 WIB
Nabilla Ramadhian,
Nabilla Tashandra

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Sebanyak tujuh dari 10 ibu di Indonesia mengalami "mom-shaming", berdasarkan studi terbaru dari Health Collaborative Center (CC), sebuah organisasi nirlaba yang menjadi bagian dari Yayasan Sentra Kolaborasi Kesehatan Nasional.

Studi ini berlangsung sejak Maret 2024 dan mengajak 892 ibu di Indonesia sebagai responden dan dilakukan oleh peneliti utama sekaligus Ketua HCC, Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH.

Adapun mom-shaming merupakan istilah yang merujuk pada tindakan mengkritik atau mempermalukan seorang ibu terkait cara membesarkan anaknya.

“Istilah mom-shaming ini fenomena psikologis yang terjadi di lingkungan komunitas,” ungkap Ray di Jakarta, Senin (1/7/2024).

Baca juga:

Dengan kata lain, mom-shaming bukanlah tindakan yang mengacu pada perempuan secara umum, tetapi berkaitan langsung dengan peran ibu.

“Jadi, perempuan yang sudah menikah dan punya anak, atau sudah punya anak. Intinya adalah perempuan yang berstatus ibu,” lanjut Ray.

Dilakukan orang terdekat

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, angka kejadian mom-shaming di Indonesia mencapai 72 persen. Sebagian besar dialami oleh ibu dari keluarga dan orang terdekat.

Dampaknya signifikan terhadap kesehatan mental dan emosional mereka.

Pasalnya, para pelaku atau aktor mom-saming berasal dari lingkungan inti mereka, yaitu keluarga, kerabat, dan lingkungan tempat tinggal.

“Ini tentunya temuan yang perlu dikaji lebih sistematis karena keluarga seharusnya menjadi core support system yang melindungi ibu dari perlakuan mom-shaming,” tegas Ray yang juga merupakan Inisiator Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa.

Baca juga:

Dalam penelitian bersama Research Associate HCC, Yoli Farradika M.Epid ini, terungkap bahwa mayoritas ibu yang mengalami mom-shaming juga cenderung terpengaruh dengan perilaku itu.

Alhasil, lebih dari 50 persen ibu terpaksa mengganti pola asuh untuk mengikuti “kritik” dari para pelaku mom-shaming.

Sementara itu, dari ratusan responden penelitian, hanya 23 persen yang mengaku berani melawan dan menghindari mom-shaming.

“Kondisi ini disebabkan oleh kurang optimalnya peran support system, yaitu keluarga, yang seharusnya melindungi mereka,” ucap Ray.

Akibatnya, imbuh dia, para ibu tidak bisa melawan dan menghindari.

Bahkan, mereka juga “takluk” dengan kritik tidak membangun itu. Ini berujung pada perubahan pola asuh yang sebenarnya bisa saja sudah mereka lakukan dengan baik.

Adapun, penelitian ini merupakan rangkaian penelitian dari kajian literatur, dengan uji instrumen menggunakan Mott Children Hospital USA, University of Michigan.

Profil dari 892 responden yang berpartisipasi dalam penelitian ini cukup beragam perihal pendidikan terakhir, usia, pekerjaan, status pernikahan, dan jumlah anak.

Untuk pendidikan, pendidikan terakhir 60 persen responden adalah SMA, dan 30 persen sarjana dan S2 ke atas. Sementara rentang usianya adalah 20-30 tahun pada 45 persen responden, dan 43 persen responden lainnya berusia 30-40 tahun.

Baca juga:

Dari sisi profesi, 67 persen adalah ibu rumah tangga, 13 persen pekerja swasta, dan 10 persen aparatur sipil negara (ASN). Kemudian, 85 persen responden berstatus menikah.

Selanjutnya, 15 persen responden belum punya anak, 31 persen memiliki satu anak, dan 35 persen memiliki dua anak.

 
 
 
Sieh dir diesen Beitrag auf Instagram an
 
 
 

Ein Beitrag geteilt von KOMPAS Lifestyle (@kompas.lifestyle)

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com